Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin - OFO

Halaman

    Social Items

Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Kematian Sel
Dewasa ini, perkembangan penyakit amat pesat. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian sel. Banyak agen yang dapat menyebabkan kematian sel, salah satunya adalah mikroba. Mikroba patogen dapat menyebabkan suatu penyakit dalam tubuh manusia. Salah satu caranya yaitu dengan merusak sel dan organelnya. Kemudian respon sel yang utama adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia. Jika respon berlebihan akan terjadi jejas (cedera sel) dan berlanjut pada kematian sel (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas tersebut dapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung. Namun, ketika lingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang mana sel tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan mati. Kematian sel memiliki dua macam pola, yaitu nekrosis dan apoptosis. Berikut perbedaannya (Kumar; Cotran & Robbins, 2007) :

Tabel 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

Gambar 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

A.  Transmisi saraf
1.    Sistem Saraf
Sistem saraf bekerja melalui jaringan interkoneksi miliaran neuron. Neuron ini mengirimkan informasi dalam bentuk impuls saraf, seluruh sistem saraf dan dengan demikian, mengkoordinasikan berbagai fungsi tubuh.
Sistem saraf manusia adalah sebuah jaringan yang sangat khusus, yang berisi miliaran neuron, dan bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan semua fungsi tubuh. Sistem ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan dunia luar dan terdiri dari dua komponen, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS).
Sistem saraf pusat meliputi otak dan sumsum tulang belakang, sedangkan sistem saraf perifer terdiri dari semua neuron tubuh, kecuali yang ditemukan di otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf manusia yang bersangkutan dengan menerima informasi dari dunia luar, pengolahan, dan kemudian menghasilkan respon yang tepat. Ini adalah jaringan yang mengontrol dan mengkoordinasikan semua kegiatan tubuh, dengan mengirimkan pesan atau sinyal dari otak ke bagian-bagian berbeda dari tubuh dan sebaliknya.

2.    Transmisi Impuls saraf
Sistem saraf manusia mengandung miliaran sel saraf dan sekitar 86 miliar dari mereka yang ditemukan di otak saja. Setiap neuron memiliki badan sel, dari mana banyak proyeksi-seperti cabang muncul, yang dikenal sebagai dendrit. Dendrit biasanya terlihat seperti cabang-cabang pohon. Pada ujung sel tubuh, panjang, proyeksi ramping dapat ditemukan, yang dikenal sebagai akson. Dendrit mengambil impuls dalam bentuk sinyal listrik dari neuron lain, yang kemudian diturunkan akson ke neuron atau sel lain.
Akson dari sebagian besar neuron ditutupi oleh selubung mielin, yang insulates sel saraf dan mempercepat transmisi impuls saraf. Beberapa akson dapat melakukan perjalanan hingga satu meter atau lebih di dalam tubuh manusia, sebelum bercabang di akhir. Cabang-cabang yang timbul dari akson yang sedikit bengkak di ujung, dan tips bengkak dikenal sebagai, tombol-tombol synaptic atau tombol terminal. Untuk transmisi impuls, neuron membentuk struktur khusus yang disebut sinapsis, dengan neuron lain dan sel-sel tubuh. Sinapsis biasanya berfungsi sebagai persimpangan, di mana impuls atau informasi dapat mengalir dari satu neuron yang lain.
Pada dasarnya ada tiga unsur sinapsis, membran presynaptic neuron sinyal-lewat (yang dapat biasanya ditemukan di tombol sinaptik dari akson), membran postsynaptic terletak di dendrit atau sel target, dan celah sinaptik, yang merupakan ruang antara presinaptik dan membran pos sinaptik. Ada terutama dua jenis sinapsis, sinapsis kimia dan sinapsis listrik, dan keduanya berbeda dalam cara mereka mengirim impuls dari satu neuron yang lain.

B.  Transduksi Sinyal
Transduksi sinyal merupakan proses penyampaian pesan. Jadi ada pesan dari luar sel trus di membran sel ia ketemu reseptornya dan mengakibatkan ada suatu tanggapan dari dalam sel.
Transduksi signal merupakan pemerosesan sinyal dalam sel yang kemudian sinyal distribusikan. Sinyal akan di amplifikasi oleh sel sehingga cukup untuk menghasilkan respon. (hormone produksinya sedikit sehingga perlu diamplifikasi).  Prinsipnya: Sinyal yang tidak bisa masuk dalam sel akan diterima pada reseptor permukaan yang akan menghasilkan berbagai macam reaksi transduksi sinyal yang akan menghasilkan perubahan berbagai macam protein di dalam sel (mengubah aktifitas enzim, merubah keaktifan factor transkripsi, mengubah struktur dan komposisi protein sitoskeleton) sehingga adanya sinyal bisa mengubah metabolism sel (enzim menjadi lebih aktif, mengubah excotic gen, reseptor ekstraseluler, mengubah bentuk sel, kontraksi, berpindah --> perilaku sel berubah).

Berikut klasifikasi reseptor berdasarkan sinyal tranduksi ;

1.    Reseptor Ligand-Gated Ion Channel / Ion-channel linked receptors\
Disebut juga reseptor ionotropik. Reseptor membran yang langsung terhubung oleh suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yg cepat. Cth. Reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAa dan reseptor Glutamat.

Ligand (obat) berinteraksi dg reseptor >> signal >> konformasi reseptor >> kanal ion terbuka >> ion masuk >>depolarisasi / hiperpolarisasi 

2.    G-Protein Coupled Receptors/ Reseptor Yg tergandeng dg Protein G
Merupakan reseptor membran yangg tergandeng sistem efektor yangg disebut protein G. Disebut juga reseptor metabotropic.Reseptor 7 transmembran , karena rangkaian peptida reseptor ini melintasi membran sebanyak 7 kali. Memperantarai aksi yg lambat beberapa neurotransmitter dan hormone. Cth. Reseptor asetilkolin muskarinik, adrenergik, dopaminergik dan serotonin.


Transmisi Sinyal melewati membran sel terjadi dlm 4 tahap :
·      Ikatan ligand (obat) dg reseptor.
·      Reseptor mengaktifkan G-protein.
·      G-protein yg aktif akan mengaktifkan enzim tertentu atau mempengaruhi kanal ion tertentu.
·      Aktivasi enzim menyebabkan perubahan konsentrasi “ second messenger”.

a.    Tyrosine Kinase-Linked Receptors/ Reseptor yg terkait aktivitas Kinase
Merupkan reseptor single transmembran. Memiliki aktivitas kinase dlm signal transduksinya. Cth. Reseptor sitokin, reseptor growth factor, reseptor insulin,

Mekanisme :
·         Obat atau hormon mengikat ‘extracellular domain’.
·         Allosteric effect… autofosforilasi pada ‘intracellular domain’.
·         ‘intracellular domain’ yg telah mengalami fosforilasi selanjutnya akan memfosforilasi protein substrat.

b.    Ligand-Activated Transcription Factors / Intracellular Receptors
Reseptor ini berada di dalam sitoplasmik atau nukleus. Aksinya langsung mengatur transkripsi gen yg menentukan sintesis protein tertentu. Cth. Reseptor steroid, reseptor estrogen, reseptor PPARγ (Peroxisome Proliferators-Activated Receptor)
Mekanisme :
·      Cytosolic receptors.  Steroid hormon menembus membran sel dan mengikat reseptor di sitoplasma.  Kompleks ligand-reseptor ditranspor masuk ke nukleus dan berikatan dg rantai DNA untuk meregulasi transkripsi gen.
·      Nuclear receptors.  Thyroid hormon masuk ke dalam sel dan secara pasif masuk ke nukleus untuk berikatan dengan reseptornya.


A.  Toksin Bakteri dan Kanker
Toksin adalah zat racun yang dihasilkan oleh beerapa spesies bakteri.  Menurut penggolongan  toksin, toksin bakteri dibagi menjadi 2 yaitu:
1.    Endotoksin
2.    Eksotoksin

a.    Eksotoksin
Adalah toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel.
Kuman-Kuman yang dapat menghailkan eksotokin misalnya:
1)   Corynebacterium diphteriae
2)   Shigella dysentriae          
3)   Clostridium tetani
4)   Clotridium botolium
5)   Clotorium elcbii
6)   Vibrio chlorea
7)   Beberapa stain Escherichia coli
Pada infeki bakteri-bakteri tersebut,eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,keadaan ini dinamakan taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari sel bakteri dengan jalan penyaringan.
Contoh eksotoksin yang mengganggu kesehatan manusia dihasilkan oleh Corynebacterim diphtheri, Clostridium tetani dan Clostridium botulinum. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang pertama kali dapat dihablurkan.Toksin ini kedapatan pada makanan yang basi.Orang akan mati,jika termakan olehnya 0,0024 miligram toksin ini.
Kebanyakan eksotoksin mudah terurai dengan perebusan atau penyinaran yang kuat. Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan membawa maut jika masuk dalam peredaran darah. Pengalaman menunjukkan bahwa, penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin menyebabkan timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut. Antitoksin ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum/ serum therapy
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
-       Mudah dilarutkan dalam air
-       Termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua putih telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat membuat endapan.
-       Bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan gejala dan mengenai alat-alat tertentu
-       Kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika dipanaskan pada 56o  c (bersifat termolabil). Akan hilang juga kekuatannya apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam suhu kamar atau dicampur dengan bahan kimia.
-       Bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam badannya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin).


a.    Endotoksin
Adalah toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap diproduksi dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas. Dalam hal ini dianggap bahwa bakteri itu menyebabkan sakit, apabila bahan-bahan toksin keluar setelah bakteri itu mati atau hancur, toksin tersebut dinamakan endotoksin, dengan sifat umumnya ialah :
1)   Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur yang tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
2)   Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga tidak spesifik.
3)   Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun lalu belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Kalau kita lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan yang lewat itu tidak mengandung toksin,akan tetapi jika kita ambil bakteri yang sudah mati,nyatalah adanya toksin. Dari kejadian ini dapatlah kita tarik kesimpulan,bahwa toksin itu semula kedapatan terkurung di dalam sel bakteri.Akhir-akhir ini orang telah berhasil memecahkan sel-sel bakteri secara mekanis dengan demikian terlepaslah isinya dari sel dan endotoksin muncul dalam keadaan lepas dari sel.
Contoh :
a.    Endotoksin dari Salmonella typhi dapat diekstrak dengan asam trichlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida lipoid.
b.    Endotoksin dari Vibrio chlorea yang diekstrak denagn asam trichlorasetat berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.

B.  Interaksi dengan sitokin

a.    Interaksi Senyawa Kimia dengan Organisme
Ilmu yang mempelajari tentang interaksi senyawa kimia dengan organisme hidup disebut farmakologi, dengan demikian toksikologi sebetulnya merupakan cabang farmakologi. Farmakologi tidak hanya mempelajari senyawa kimia yang mempunyai manfaat dalam bidang pengobatan dan terapi medik tetapi juga mencakup semua senyawa kimia yang aktif secara biologi, termasuk yang bersifat racun. Pengertian racun adalah zat yang berpengaruh merugikan pada organisme yang terpapar. Kehadiran suatu zat atau senyawa kimia yang potensial toksik di dalam tubuh organisme belum tentu menimbulkan gejala keracunan (sola dosis facit venenum), sebagai contoh: timbal (Pb), merkuri (Hg) dan DDT tidak menimbulkan gejala keracunan apabila jumlah yang diabsorbsi berada di bawah dosis toksik tetapi akan menjadi racun apabila jumlah yang diabsorbsi berada pada dosis toksik.
Setiap bahan kimia apabila diabsorbsi dalam jumlah sangat besar, termasuk air bersih, ternyata dapat menimbulkan efek racun. Ada juga bahan kimia yang pada dosis sangat rendah sudah beracun, misalnya toksin Clostridium botulinum. Dalam mempelajari interaksi antara senyawa kimia aktif dengan organisme hidup, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan:

1.    farmakodinamik atau toksodinamik, yaitu kerja senyawa kimia yang aktif secara biologik;
2.    farmakokinetik atau toksokinetik, yaitu pengaruh organisme terhadap senyawa kimia aktif.

b.    Kerja Bahan Toksik
Kerja atau aktivitas bahan toksik umumnya berupa serangkaian proses yang sebagian diantaranya bahkan sangat kompleks. Pada berbagai kerja toksik dan mekanisme kerjanya, dapat dibedakan dua hal berikut: Universitas Gadjah Mada

1.    Kerja toksik: suatu proses yang dilandasi oleh interaksi kimia antara zat kimia atau metabolitnya dengan substrat biologik membentuk ikatan kimia kovalen yang bersifat tidak bolak-balik (ireversible).
2.    Pengaruh toksik: perubahan fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik dapat hilang jika zat asing tersebut dikeluarkan dari dalam plasma.
Kerja toksik pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: (1) fase eksposisi, (2) fase toksokinetik dan (3) fase toksodinamik.
1.    Fase eksposisi
Apabila obyek biologik mengalami kontak dengan suatu zat kimia, maka efek biologik atau efek toksik hanya akan terjadi setelah zat tersebut terabsorbsi. Zat kimia yang dapat terabsorbsi umumnya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut dan molekulnya terdispersi. Absorbsi zat sangat tergantung pada konsentrasi dan jangka waktu kontak zat dengan permukaan organisme yang mampu mengabsorbsi zat. Apabila organisme air mengalami kontak dengan zat kimia toksik, maka jenis zat toksik tersebut berpengaruh terhadap daya absorbsi dan toksisitasnya. Selama fase eksposisi, zat kimia toksik dapat berubah menjadi senyawa yang lebih toksik atau kurang toksik melalui reaksi kimia tertentu.

2.    Fase toksokinetik
Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksokinetik atau farmakokinetik:
1.    Proses transpor (meliputi absorbsi, distribusi dan ekskresi)
Proses transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung melalui:

a.    Tranpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat kimia terlarut melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh gradien konsentrasi di kedua sisi membran sel dan juga dipengaruhi oleh tetapan difusi zat. Universitas Gadjah Mada b. Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus dengan bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa. Jumlah molekul yang dapat ditransportasi per satuan waktu tergantung pada kapasitas sistem yaitu jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiaptiap tempat ikatan tersebut. Apabila konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus menerus meningkat, maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh sehingga laju transpor tidak meningkat terus menerus tetapi akan mencapai titik maksimum.

b.    Perubahan metabolik atau biotransformasi
Biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase reaksi yaitu reaksi fase I (reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi konjugasi). Reaksi penguraian meliputi pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Reaksi penguraian akan menghasilkan atau membentuk zat kimia dengan gugus polar yaitu gugus —OH, -NH2 atau —COON. Pada reaksi konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus polar akan dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga berubah menjadi bentuk terlarut dalam air dan dapat diekskresikan oleh ginjal.
Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi detoksifikasi sehingga produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun reaksi biotransformasi, khususnya konjugasi, pada umumnya menyebabkan inaktivasi zat tetapi metabolit aktif dapat terbentuk karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila metabolit aktif bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi.

2.     Fase toksodinamik
Ease toksodinamik atau farmakodinamik meliputi interaksi antara molekul zat kimia toksik dengan tempat kerja spesifik yaitu reseptor. Organ target dan tempat kerja tidak selalu sama, sebagai contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat ditemukan konsentrasi zat kimia toksik yang cukup inggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.
Kerja kebanyakan zat aktif biologik, terutama zat toksik umumnya disebabkan oleh interaksi zat tersebut dengan enzim. Kerja terhadap enzim yang berperanan pada proses biotransformasi xenobiotik dan termasuk fase toksokinetik tidak termasuk interaksi, sedangkan kerja terhadap enzim yang berpengaruh langsung pada timbulnya efek toksik termasuk interaksi. Interaksi antara zat toksik dengan sistem enzim antara lain berupa: inhibisi enzim secara tidak bolakbalik, inhibisi enzim secara bolak-balik, pemutusan reaksi biokimia, inhibisi fotosintetik pada tumbuhan air, sintesis zat mematikan, pengambilan ion logam yang penting bagi kerja enzim dan inhibisi penghantaran elektron dalam rantai pernafasan.
Pada kasus-kasus peracunan tertentu terjadi inhibisi transpor oksigen karena adanya gangguan kerja pada hemoglobin (Hb). Terjadinya inhibisi pada transpor oksigen antara lain dapat disebabkan oleh:

1)   Keracunan karbon monoksida
Karbon monoksida (CO) mengandung tempat ikatan yang sama pada hemoglobin seperti oksigen sehingga dapat menghilangkan kemampuan Hb mengikat oksigen (O2). Kompleks ikatan Hb dengan CO disebut karboksi hemoglobin yang cenderung lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2.

2)   Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin merupakan hasil oksidasi Hb yang sudah tidak memiliki kemampuan lagi mengangkut O2. Jika methemoglobin hanya terbentuk dalam jumlah kecil, maka dapat direduksi kembali menjadi Hb dengan bantuan enzim methemoglobinreduktase.

3)   Proses hemolitik
Hemolitik merupakan proses pembebasan Hb dari dalam eritrosit akibat kerusakan membran eritrosit. Hemoglobin yang dibebaskan akan kehilangan kemampuan mengikat O2.
Beberapa jenis zat kimia setelah masuk ke dalam tubuh organisme dapat berinteraksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia dengan fungsi umum sel tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk efek narkose. Disamping itu, interaksi zat kimia tertentu dengan fungsi sel umum dapat diwujudkan dalam bentuk gangguan pada penghantaran rangsang neurohumoral. Mekanisme gangguan penghantaran rangsang tersebut disebabkan zat kimia mempengaruhi sinapsis antara sel saraf satu dengan sel saraf lainnya atau mempengaruhi ujung sel saraf efektor.
Zat-zat toksik tertentu juga dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN (asam deoksiribonukleat) dan ARN (asam ribonukleat). Gangguan tersebut dapat tejadi pada: penggandaan ADN selama pembelahan sel, transkripsi informasi ADN kepada ARN, penyampaian informasi melalui ARN pada sintesis protein, penghambatan sintesis enzim yang berperan serta, dan proses pengaturan yang menentukan pola aktivitas sel.
Disamping dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN dan ARN, beberapa zat toksik tertentu juga dapat berpengaruh terhadap organisme melalui mekanisme kerja sitostatika (penghambatan pembelahan sel), kerja imunsupresiva (penekanan pertahanan imunologi melalui penekanan proliferasi sel tertentu, terutama limfosit), kerja mutagenik (mengubah sifat genetik sel), kerja karsinogenik (pemicu timbulnya tumor), kerja teratogenik (penyebab organisme lahir cacat), reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, iritasi pada jaringan, toksisitas pada jaringan dan penimbunan zat asing.


DAFTAR PUSTAKA 

-       Darmono.2006. Farmakologi Dan Toksikologi Sistem Kekebalan: PengaruhPenyebab Dan Akibatnya Pada Kekebalan Tubuh. Jakarta: Universitas Indonesia.

-     Fedik A.Rantam. 2003. Metode Imunologi. Jakarta: Universitas Airlangga. Pacito. 2010. Sistem Imunitas.

- Maharani, Yusniar, 2013. Disposisi dan metabolisme senyawa toksik. http//:yusniar-maharani.blogspot.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015.

-       Pallar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.

-       Budiawan, nat, rer, Dr, 2008. Peran Toksikologi Forensik Dalam Mengungkap Kasus Keracunan Dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):35-39. Jakarta.

-       Anonim a, 2013. Toksikologi Timbal (pb). http//:bio-science.wordpress.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015

-     Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI Press.

-     Mansur. 2008. Toksikologi dan distribusi agent toksik.http://library.usu.ac.id/ download/fk/kedokteran-mansyur2.pdf


Efek Biologi Dari Anti Toksin
-       Kematian sel
-       Transmisi saraf
-       Transduksi signal
-       Toksin bakteri dan kanker
-       Interaksi dengan sitokin




#Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

Download File Lengkapnya => DISINI <=

Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Kematian Sel
Dewasa ini, perkembangan penyakit amat pesat. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian sel. Banyak agen yang dapat menyebabkan kematian sel, salah satunya adalah mikroba. Mikroba patogen dapat menyebabkan suatu penyakit dalam tubuh manusia. Salah satu caranya yaitu dengan merusak sel dan organelnya. Kemudian respon sel yang utama adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia. Jika respon berlebihan akan terjadi jejas (cedera sel) dan berlanjut pada kematian sel (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas tersebut dapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung. Namun, ketika lingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang mana sel tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan mati. Kematian sel memiliki dua macam pola, yaitu nekrosis dan apoptosis. Berikut perbedaannya (Kumar; Cotran & Robbins, 2007) :

Tabel 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

Gambar 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

A.  Transmisi saraf
1.    Sistem Saraf
Sistem saraf bekerja melalui jaringan interkoneksi miliaran neuron. Neuron ini mengirimkan informasi dalam bentuk impuls saraf, seluruh sistem saraf dan dengan demikian, mengkoordinasikan berbagai fungsi tubuh.
Sistem saraf manusia adalah sebuah jaringan yang sangat khusus, yang berisi miliaran neuron, dan bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan semua fungsi tubuh. Sistem ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan dunia luar dan terdiri dari dua komponen, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS).
Sistem saraf pusat meliputi otak dan sumsum tulang belakang, sedangkan sistem saraf perifer terdiri dari semua neuron tubuh, kecuali yang ditemukan di otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf manusia yang bersangkutan dengan menerima informasi dari dunia luar, pengolahan, dan kemudian menghasilkan respon yang tepat. Ini adalah jaringan yang mengontrol dan mengkoordinasikan semua kegiatan tubuh, dengan mengirimkan pesan atau sinyal dari otak ke bagian-bagian berbeda dari tubuh dan sebaliknya.

2.    Transmisi Impuls saraf
Sistem saraf manusia mengandung miliaran sel saraf dan sekitar 86 miliar dari mereka yang ditemukan di otak saja. Setiap neuron memiliki badan sel, dari mana banyak proyeksi-seperti cabang muncul, yang dikenal sebagai dendrit. Dendrit biasanya terlihat seperti cabang-cabang pohon. Pada ujung sel tubuh, panjang, proyeksi ramping dapat ditemukan, yang dikenal sebagai akson. Dendrit mengambil impuls dalam bentuk sinyal listrik dari neuron lain, yang kemudian diturunkan akson ke neuron atau sel lain.
Akson dari sebagian besar neuron ditutupi oleh selubung mielin, yang insulates sel saraf dan mempercepat transmisi impuls saraf. Beberapa akson dapat melakukan perjalanan hingga satu meter atau lebih di dalam tubuh manusia, sebelum bercabang di akhir. Cabang-cabang yang timbul dari akson yang sedikit bengkak di ujung, dan tips bengkak dikenal sebagai, tombol-tombol synaptic atau tombol terminal. Untuk transmisi impuls, neuron membentuk struktur khusus yang disebut sinapsis, dengan neuron lain dan sel-sel tubuh. Sinapsis biasanya berfungsi sebagai persimpangan, di mana impuls atau informasi dapat mengalir dari satu neuron yang lain.
Pada dasarnya ada tiga unsur sinapsis, membran presynaptic neuron sinyal-lewat (yang dapat biasanya ditemukan di tombol sinaptik dari akson), membran postsynaptic terletak di dendrit atau sel target, dan celah sinaptik, yang merupakan ruang antara presinaptik dan membran pos sinaptik. Ada terutama dua jenis sinapsis, sinapsis kimia dan sinapsis listrik, dan keduanya berbeda dalam cara mereka mengirim impuls dari satu neuron yang lain.

B.  Transduksi Sinyal
Transduksi sinyal merupakan proses penyampaian pesan. Jadi ada pesan dari luar sel trus di membran sel ia ketemu reseptornya dan mengakibatkan ada suatu tanggapan dari dalam sel.
Transduksi signal merupakan pemerosesan sinyal dalam sel yang kemudian sinyal distribusikan. Sinyal akan di amplifikasi oleh sel sehingga cukup untuk menghasilkan respon. (hormone produksinya sedikit sehingga perlu diamplifikasi).  Prinsipnya: Sinyal yang tidak bisa masuk dalam sel akan diterima pada reseptor permukaan yang akan menghasilkan berbagai macam reaksi transduksi sinyal yang akan menghasilkan perubahan berbagai macam protein di dalam sel (mengubah aktifitas enzim, merubah keaktifan factor transkripsi, mengubah struktur dan komposisi protein sitoskeleton) sehingga adanya sinyal bisa mengubah metabolism sel (enzim menjadi lebih aktif, mengubah excotic gen, reseptor ekstraseluler, mengubah bentuk sel, kontraksi, berpindah --> perilaku sel berubah).

Berikut klasifikasi reseptor berdasarkan sinyal tranduksi ;

1.    Reseptor Ligand-Gated Ion Channel / Ion-channel linked receptors\
Disebut juga reseptor ionotropik. Reseptor membran yang langsung terhubung oleh suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yg cepat. Cth. Reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAa dan reseptor Glutamat.

Ligand (obat) berinteraksi dg reseptor >> signal >> konformasi reseptor >> kanal ion terbuka >> ion masuk >>depolarisasi / hiperpolarisasi 

2.    G-Protein Coupled Receptors/ Reseptor Yg tergandeng dg Protein G
Merupakan reseptor membran yangg tergandeng sistem efektor yangg disebut protein G. Disebut juga reseptor metabotropic.Reseptor 7 transmembran , karena rangkaian peptida reseptor ini melintasi membran sebanyak 7 kali. Memperantarai aksi yg lambat beberapa neurotransmitter dan hormone. Cth. Reseptor asetilkolin muskarinik, adrenergik, dopaminergik dan serotonin.


Transmisi Sinyal melewati membran sel terjadi dlm 4 tahap :
·      Ikatan ligand (obat) dg reseptor.
·      Reseptor mengaktifkan G-protein.
·      G-protein yg aktif akan mengaktifkan enzim tertentu atau mempengaruhi kanal ion tertentu.
·      Aktivasi enzim menyebabkan perubahan konsentrasi “ second messenger”.

a.    Tyrosine Kinase-Linked Receptors/ Reseptor yg terkait aktivitas Kinase
Merupkan reseptor single transmembran. Memiliki aktivitas kinase dlm signal transduksinya. Cth. Reseptor sitokin, reseptor growth factor, reseptor insulin,

Mekanisme :
·         Obat atau hormon mengikat ‘extracellular domain’.
·         Allosteric effect… autofosforilasi pada ‘intracellular domain’.
·         ‘intracellular domain’ yg telah mengalami fosforilasi selanjutnya akan memfosforilasi protein substrat.

b.    Ligand-Activated Transcription Factors / Intracellular Receptors
Reseptor ini berada di dalam sitoplasmik atau nukleus. Aksinya langsung mengatur transkripsi gen yg menentukan sintesis protein tertentu. Cth. Reseptor steroid, reseptor estrogen, reseptor PPARγ (Peroxisome Proliferators-Activated Receptor)
Mekanisme :
·      Cytosolic receptors.  Steroid hormon menembus membran sel dan mengikat reseptor di sitoplasma.  Kompleks ligand-reseptor ditranspor masuk ke nukleus dan berikatan dg rantai DNA untuk meregulasi transkripsi gen.
·      Nuclear receptors.  Thyroid hormon masuk ke dalam sel dan secara pasif masuk ke nukleus untuk berikatan dengan reseptornya.


A.  Toksin Bakteri dan Kanker
Toksin adalah zat racun yang dihasilkan oleh beerapa spesies bakteri.  Menurut penggolongan  toksin, toksin bakteri dibagi menjadi 2 yaitu:
1.    Endotoksin
2.    Eksotoksin

a.    Eksotoksin
Adalah toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel.
Kuman-Kuman yang dapat menghailkan eksotokin misalnya:
1)   Corynebacterium diphteriae
2)   Shigella dysentriae          
3)   Clostridium tetani
4)   Clotridium botolium
5)   Clotorium elcbii
6)   Vibrio chlorea
7)   Beberapa stain Escherichia coli
Pada infeki bakteri-bakteri tersebut,eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,keadaan ini dinamakan taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari sel bakteri dengan jalan penyaringan.
Contoh eksotoksin yang mengganggu kesehatan manusia dihasilkan oleh Corynebacterim diphtheri, Clostridium tetani dan Clostridium botulinum. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang pertama kali dapat dihablurkan.Toksin ini kedapatan pada makanan yang basi.Orang akan mati,jika termakan olehnya 0,0024 miligram toksin ini.
Kebanyakan eksotoksin mudah terurai dengan perebusan atau penyinaran yang kuat. Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan membawa maut jika masuk dalam peredaran darah. Pengalaman menunjukkan bahwa, penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin menyebabkan timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut. Antitoksin ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum/ serum therapy
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
-       Mudah dilarutkan dalam air
-       Termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua putih telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat membuat endapan.
-       Bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan gejala dan mengenai alat-alat tertentu
-       Kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika dipanaskan pada 56o  c (bersifat termolabil). Akan hilang juga kekuatannya apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam suhu kamar atau dicampur dengan bahan kimia.
-       Bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam badannya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin).


a.    Endotoksin
Adalah toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap diproduksi dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas. Dalam hal ini dianggap bahwa bakteri itu menyebabkan sakit, apabila bahan-bahan toksin keluar setelah bakteri itu mati atau hancur, toksin tersebut dinamakan endotoksin, dengan sifat umumnya ialah :
1)   Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur yang tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
2)   Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga tidak spesifik.
3)   Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun lalu belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Kalau kita lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan yang lewat itu tidak mengandung toksin,akan tetapi jika kita ambil bakteri yang sudah mati,nyatalah adanya toksin. Dari kejadian ini dapatlah kita tarik kesimpulan,bahwa toksin itu semula kedapatan terkurung di dalam sel bakteri.Akhir-akhir ini orang telah berhasil memecahkan sel-sel bakteri secara mekanis dengan demikian terlepaslah isinya dari sel dan endotoksin muncul dalam keadaan lepas dari sel.
Contoh :
a.    Endotoksin dari Salmonella typhi dapat diekstrak dengan asam trichlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida lipoid.
b.    Endotoksin dari Vibrio chlorea yang diekstrak denagn asam trichlorasetat berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.

B.  Interaksi dengan sitokin

a.    Interaksi Senyawa Kimia dengan Organisme
Ilmu yang mempelajari tentang interaksi senyawa kimia dengan organisme hidup disebut farmakologi, dengan demikian toksikologi sebetulnya merupakan cabang farmakologi. Farmakologi tidak hanya mempelajari senyawa kimia yang mempunyai manfaat dalam bidang pengobatan dan terapi medik tetapi juga mencakup semua senyawa kimia yang aktif secara biologi, termasuk yang bersifat racun. Pengertian racun adalah zat yang berpengaruh merugikan pada organisme yang terpapar. Kehadiran suatu zat atau senyawa kimia yang potensial toksik di dalam tubuh organisme belum tentu menimbulkan gejala keracunan (sola dosis facit venenum), sebagai contoh: timbal (Pb), merkuri (Hg) dan DDT tidak menimbulkan gejala keracunan apabila jumlah yang diabsorbsi berada di bawah dosis toksik tetapi akan menjadi racun apabila jumlah yang diabsorbsi berada pada dosis toksik.
Setiap bahan kimia apabila diabsorbsi dalam jumlah sangat besar, termasuk air bersih, ternyata dapat menimbulkan efek racun. Ada juga bahan kimia yang pada dosis sangat rendah sudah beracun, misalnya toksin Clostridium botulinum. Dalam mempelajari interaksi antara senyawa kimia aktif dengan organisme hidup, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan:

1.    farmakodinamik atau toksodinamik, yaitu kerja senyawa kimia yang aktif secara biologik;
2.    farmakokinetik atau toksokinetik, yaitu pengaruh organisme terhadap senyawa kimia aktif.

b.    Kerja Bahan Toksik
Kerja atau aktivitas bahan toksik umumnya berupa serangkaian proses yang sebagian diantaranya bahkan sangat kompleks. Pada berbagai kerja toksik dan mekanisme kerjanya, dapat dibedakan dua hal berikut: Universitas Gadjah Mada

1.    Kerja toksik: suatu proses yang dilandasi oleh interaksi kimia antara zat kimia atau metabolitnya dengan substrat biologik membentuk ikatan kimia kovalen yang bersifat tidak bolak-balik (ireversible).
2.    Pengaruh toksik: perubahan fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik dapat hilang jika zat asing tersebut dikeluarkan dari dalam plasma.
Kerja toksik pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: (1) fase eksposisi, (2) fase toksokinetik dan (3) fase toksodinamik.
1.    Fase eksposisi
Apabila obyek biologik mengalami kontak dengan suatu zat kimia, maka efek biologik atau efek toksik hanya akan terjadi setelah zat tersebut terabsorbsi. Zat kimia yang dapat terabsorbsi umumnya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut dan molekulnya terdispersi. Absorbsi zat sangat tergantung pada konsentrasi dan jangka waktu kontak zat dengan permukaan organisme yang mampu mengabsorbsi zat. Apabila organisme air mengalami kontak dengan zat kimia toksik, maka jenis zat toksik tersebut berpengaruh terhadap daya absorbsi dan toksisitasnya. Selama fase eksposisi, zat kimia toksik dapat berubah menjadi senyawa yang lebih toksik atau kurang toksik melalui reaksi kimia tertentu.

2.    Fase toksokinetik
Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksokinetik atau farmakokinetik:
1.    Proses transpor (meliputi absorbsi, distribusi dan ekskresi)
Proses transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung melalui:

a.    Tranpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat kimia terlarut melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh gradien konsentrasi di kedua sisi membran sel dan juga dipengaruhi oleh tetapan difusi zat. Universitas Gadjah Mada b. Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus dengan bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa. Jumlah molekul yang dapat ditransportasi per satuan waktu tergantung pada kapasitas sistem yaitu jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiaptiap tempat ikatan tersebut. Apabila konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus menerus meningkat, maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh sehingga laju transpor tidak meningkat terus menerus tetapi akan mencapai titik maksimum.

b.    Perubahan metabolik atau biotransformasi
Biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase reaksi yaitu reaksi fase I (reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi konjugasi). Reaksi penguraian meliputi pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Reaksi penguraian akan menghasilkan atau membentuk zat kimia dengan gugus polar yaitu gugus —OH, -NH2 atau —COON. Pada reaksi konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus polar akan dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga berubah menjadi bentuk terlarut dalam air dan dapat diekskresikan oleh ginjal.
Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi detoksifikasi sehingga produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun reaksi biotransformasi, khususnya konjugasi, pada umumnya menyebabkan inaktivasi zat tetapi metabolit aktif dapat terbentuk karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila metabolit aktif bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi.

2.     Fase toksodinamik
Ease toksodinamik atau farmakodinamik meliputi interaksi antara molekul zat kimia toksik dengan tempat kerja spesifik yaitu reseptor. Organ target dan tempat kerja tidak selalu sama, sebagai contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat ditemukan konsentrasi zat kimia toksik yang cukup inggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.
Kerja kebanyakan zat aktif biologik, terutama zat toksik umumnya disebabkan oleh interaksi zat tersebut dengan enzim. Kerja terhadap enzim yang berperanan pada proses biotransformasi xenobiotik dan termasuk fase toksokinetik tidak termasuk interaksi, sedangkan kerja terhadap enzim yang berpengaruh langsung pada timbulnya efek toksik termasuk interaksi. Interaksi antara zat toksik dengan sistem enzim antara lain berupa: inhibisi enzim secara tidak bolakbalik, inhibisi enzim secara bolak-balik, pemutusan reaksi biokimia, inhibisi fotosintetik pada tumbuhan air, sintesis zat mematikan, pengambilan ion logam yang penting bagi kerja enzim dan inhibisi penghantaran elektron dalam rantai pernafasan.
Pada kasus-kasus peracunan tertentu terjadi inhibisi transpor oksigen karena adanya gangguan kerja pada hemoglobin (Hb). Terjadinya inhibisi pada transpor oksigen antara lain dapat disebabkan oleh:

1)   Keracunan karbon monoksida
Karbon monoksida (CO) mengandung tempat ikatan yang sama pada hemoglobin seperti oksigen sehingga dapat menghilangkan kemampuan Hb mengikat oksigen (O2). Kompleks ikatan Hb dengan CO disebut karboksi hemoglobin yang cenderung lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2.

2)   Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin merupakan hasil oksidasi Hb yang sudah tidak memiliki kemampuan lagi mengangkut O2. Jika methemoglobin hanya terbentuk dalam jumlah kecil, maka dapat direduksi kembali menjadi Hb dengan bantuan enzim methemoglobinreduktase.

3)   Proses hemolitik
Hemolitik merupakan proses pembebasan Hb dari dalam eritrosit akibat kerusakan membran eritrosit. Hemoglobin yang dibebaskan akan kehilangan kemampuan mengikat O2.
Beberapa jenis zat kimia setelah masuk ke dalam tubuh organisme dapat berinteraksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia dengan fungsi umum sel tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk efek narkose. Disamping itu, interaksi zat kimia tertentu dengan fungsi sel umum dapat diwujudkan dalam bentuk gangguan pada penghantaran rangsang neurohumoral. Mekanisme gangguan penghantaran rangsang tersebut disebabkan zat kimia mempengaruhi sinapsis antara sel saraf satu dengan sel saraf lainnya atau mempengaruhi ujung sel saraf efektor.
Zat-zat toksik tertentu juga dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN (asam deoksiribonukleat) dan ARN (asam ribonukleat). Gangguan tersebut dapat tejadi pada: penggandaan ADN selama pembelahan sel, transkripsi informasi ADN kepada ARN, penyampaian informasi melalui ARN pada sintesis protein, penghambatan sintesis enzim yang berperan serta, dan proses pengaturan yang menentukan pola aktivitas sel.
Disamping dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN dan ARN, beberapa zat toksik tertentu juga dapat berpengaruh terhadap organisme melalui mekanisme kerja sitostatika (penghambatan pembelahan sel), kerja imunsupresiva (penekanan pertahanan imunologi melalui penekanan proliferasi sel tertentu, terutama limfosit), kerja mutagenik (mengubah sifat genetik sel), kerja karsinogenik (pemicu timbulnya tumor), kerja teratogenik (penyebab organisme lahir cacat), reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, iritasi pada jaringan, toksisitas pada jaringan dan penimbunan zat asing.


DAFTAR PUSTAKA 

-       Darmono.2006. Farmakologi Dan Toksikologi Sistem Kekebalan: PengaruhPenyebab Dan Akibatnya Pada Kekebalan Tubuh. Jakarta: Universitas Indonesia.

-     Fedik A.Rantam. 2003. Metode Imunologi. Jakarta: Universitas Airlangga. Pacito. 2010. Sistem Imunitas.

- Maharani, Yusniar, 2013. Disposisi dan metabolisme senyawa toksik. http//:yusniar-maharani.blogspot.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015.

-       Pallar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.

-       Budiawan, nat, rer, Dr, 2008. Peran Toksikologi Forensik Dalam Mengungkap Kasus Keracunan Dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):35-39. Jakarta.

-       Anonim a, 2013. Toksikologi Timbal (pb). http//:bio-science.wordpress.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015

-     Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI Press.

-     Mansur. 2008. Toksikologi dan distribusi agent toksik.http://library.usu.ac.id/ download/fk/kedokteran-mansyur2.pdf


Efek Biologi Dari Anti Toksin
-       Kematian sel
-       Transmisi saraf
-       Transduksi signal
-       Toksin bakteri dan kanker
-       Interaksi dengan sitokin




#Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

Download File Lengkapnya => DISINI <=