OFO: Biologi

Halaman

    Social Items

Makalah Tentang Cestoda


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
            Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasanya menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak mempunyai alat cerna atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina.
            Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat, disebut skoleks yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies penting yang dapat menimbulkan kelainan pada manusia umumnya adalah : Taenia saginata dan Taenia solium, Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis.
Manusia merupakan hospes Cestoda ini dalam bentuk :
a.         Cacing dewasa, untuk spesies Diphyllobothrium latum, Taenia saginata, Taenia solium, H.nana, H.diminuta, Dipylidium caninum.
b.        Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp, T.solium, H.nana, E.granulosus, Multiceps.

B.   Tujuan
            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui klasifikasi, morfologi dan daur hidup, hospes dan nama penyakit, distribusi geografik, patologi dan gejala klinis, diagnosis, pengobatan serta epidemiologi dari cestoda Diphyllobothrium latum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Klasifikasi
Kingdom         :    Animalia
Filum               :    Platyhelminthes
Kelas               :    Cestoda
Ordo               :    Pseudophyllidea
Famili              :    Diphyllobothriidae
Genus              :    Diphyllobothrium
Spesies             :    Diphyllobothrium latum

B.   Morfologi dan Daur Hidup
            Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna gading, panjangnya dapat sampai 10 M dan terdiri atas 3000-4000 buah proglotid, tiap proglotid mempunyai alat kelamin jantan dan betina yang lengkap. Telur mempunyai operculum berukuran 70 x 45 mikron, dikeluarkan melalui lubang uterus proglotid gravid dan ditemukan dalam tinja. Telur menetas dalam air. Larva disebut korasidium dan dimakan oleh hospes perantara pertama, yaitu binatang yang termasuk Copepoda seperti Cyclops dan Diaptomus. Dalam hospes ini larva tumbuh menjadi proserkoid, kemudian Cyclops dimakan hospes perantara kedua yaitu ikan salem dan proserkoid berubah menjadi larva pleroserkoid atau disebut sparganum. Bila ikan tersebut dimakan hospes definitif misalnya manusia sedangkan ikan itu tidak dimasak dengan baik, maka sparaganum di rongga usus halus tumbuh menjadi cacing dewasa (Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
            Cacing ini tergolong Pseudophyllidae yang terdapat sebagai cacing dewasa pada manusia. Panjangnya sampai 10 m, terdiri dari 3000-4000 proglotid Genital pore dan uterin pore terletak di sentral dari proglotid. Telur mempunyai operkulum yang berisi sel telur. Telur dikeluarkan bersama tinja. Dalam air, sel telur menjadi onkosfer dan telur menetas lalu keluar korasidium yaitu embrio yang bersilia. Korasidium dimakan oleh HP I yaitu Cyclops atau Dioptomus. Di dalam tubuh HP I, korasidium berubah menjadi procercoid. Bila Cyclops atau Dioptomus yang mengandung procercoid dimakan oleh ikan sebagai HP II, maka procercoid akan tumbuh menjadi plerocercoid (sparganum) yang merupakan bentuk infektif .
            Bersifat hermafrodit. Cacing dewasa panjangnya dapat mencapai 10 (sepuluh) meter. Menempel pada dinding intestinum dengan scolex. Panjang scolex dengan lehernya 5-10 mm jumlah proglotidnya bisa mencapai 3.000 (tiga ribu) atau lebih. Satu cacing bisa mengeluarkan 1.000.000 (satu juta) telur setiap harinya. Telur Diphyllobothrium latum harus jatuh kedalam air agar bisa menetas menjadi coracidium. Coracidium (larva) ini harus dimakan oleh Cyclops atau Diaptomus untuk bisa melanjutkan siklus hidupnya. Di dalam tubuh Cyclops larva akan tumbuh menjadi larva procercoid. Bila Cyclops yang mengandung larva procercoid dimakan oleh ikan tertentu (intermediate host kedua), maka larva cacing akan berkembang menjadi plerocercoid. Plerocercoid ini akan berada didalam daging ikan. Bila daging ikan yang mengandung plerocercoid ini dimakan manusia, maka akan terjadi penularan. Di dalam intestinum manusia, plerocercoid akan berkembang menjadi cacing dewasa(Entjang, 2001).

C.   Hospes dan Nama Penyakit
            Manusia adalah hospes definitif, hospes reservoarnya adalah anjing, kucing dan lebih jarang 22 mamalia lainnya, antara lain walrus, singa laut, beruang, babi, dan serigala. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut difilobotriasis (Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
            Manusia menyebabkan Diphyllobothriasis. Hospes reservoir adalah anjing, anjing hutan dan beruang. Hospes perantara I adalah Cyclops dan Dioptomus. Hospes perantara II adalah ikan (Safar, 2009).

D.   Distribusi Geografik
            Parasit ini ditemukan di Amerika, Kanada, Eropa, daerah danau di Swiss, Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika, Malagasi dan Siberia.

E.   Patologi dan Gejala Klinis
            Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya gejala saluran cerna seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak enak di perut.
            Ekskistasi terjadi di usus halus lalu cacing menjadi dewasa dengan memakan sari makanan dan Vitamin B12. Penyakitnya disebut Diphyllobothriasis dengan gejala gastrointestinal berupa diare, hilang nafsu makan. Karena cacing mengambil Vitamin B12 akan terjadi Anemia makrositer hyperchrom. Tidak semua orang yang terinfeksi akan menjadi sakit  Biasanya asymptomatis, tetapi kadang-kadang berupa perut sakit, berat badan menurun dan anemia
F.    Diagnosis
            Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan menemukan telur atau proglotid yang dikeluarkan dalam tinja. Sampel berupa feces untuk pemeriksaan adanya telur cacing

G.   Pengobatan
            Penderita diberikan obat Atabrin dalam keadaan perut kosong, disertai pemberian Na-bikarbonas, dosis 0,5 g dua jam setelah makan obat diberikan sebagai pencahar magnesium sulfat 15 g. Yomesan, Bithionol

H.   Epidemiologi
            Penyakit ini di Indonesia tidak ditemukan tetapi banyak dijumpai di negara yang banyak makan ikan salem mentah atau kurang matang. Banyak binatang seperti anjing, kucing dan babi berperan sebagai hospes reservoar dan perlu diperhatikan.

I.     Taenia solium
            Taenia solium adalah parasit kosmopolit, namun akan sulit ditemukan pada Negara-negra islami. T. solium merupakan pathogen yang umum terdapat di lingkungan yang buruk, dimana manusia tinggalnya sangat berdekatan dengan babi- babi dan memakan daging babi yang kurang matang. Oleh karena itu, penyakit cacingan karena cacing T. solium ini sangat jarang ditemukan pada lingkungan muslim.
            Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di daerah yang penduduknya banyak menyantap daging babi atau berhubungan dengan religi tertentu yang memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi daging babi, seperti di Eropa (Gzech, Slowakia, Kroatia, dan Serbia), Amerika latin, Cina, India, Amerika Utara, dan juga beberapa daerah di Indonesia ( Irian Jaya, Bali dan Sumatera Utara).
            Hasil survey lapangan yang diadakan pada tahun 2000 dan 2001, para peneliti menemukan bahwa menunjukkan 5 (8.6%) dari 58 masyarakat lokal dan 7 (11%) dari  64 anjing local yang hidup kira-kira 1 km dari  ibukota local, wamena, Jayawijaya, ditemukan cacing pita dewasa dan sistiserkus T. solium.  Karena prevalensi cacing ini telah mendunia dan meningkatnya imigrasi dan jumlah turis asing, T. solium merupakan salah satu pathogen penting di United stated. Dari 100 juta infeksi cacingan per tahunnya, 50 juta kasus infeksi tersebut disebabkan oleh T. solium. Infeksi T. solium jarang memasuki United states kecuali daerah dengan tingkat imigrasi tinggi dari Mexico, Latin America, Iberian peninsula, Slavic countries, Africa, India, Southeast Asia, dan China.

1.    Morfologi
            Cacing dewasa dapat berukuran 3-8m. Struktur tubuh cacing ini terdiri dari skolex, leher dan proglotid. Cacing dewasa menempel pada dinding usus dengan scolex nya, sedangkan sistiserkus nya terdapat di jaringan otot atau subkutan. Cacing ini terdiri dari 800-1000 ruas proglotid. Skolex yang bulat berukuran kira-kira 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum (tonjolan lemak) yang mempunyai 2 baris kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah.
            Bentuk proglotid gravid nya mempunyai ukuran panjang yang hamper sama dengan lebarnya, dapat dilihat pada gambar…. Jumlah cabang uterus pada proglotid gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian selang seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.
Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui robekan celah pada proglotid. Telur dapat dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus.

2.    Host
            Host definitive cacing ini adalah manusia, sedangkan host intermediate nya adalah babi, monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan manusia. Hal ini terjadi bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus T. solium. Sebagai host intermediate, babi dapat mengandung cacing ini bila telur cacing yang terdapat pada feses manusia yang terinfeksi termakan.
            Bila manusia bertindak sebagai intermediate host, maka sistiserkus T. solium berada di dalam jaringan otot atau jaringan subkutan. Hal ini terjadi bila manusia makan makanan yang terkontaminasi oleh telur T. solium. Infeksi pada manusia, umumnya terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing T. solium. Telur cacing tersebut dapat berasal dari penderita yang mengandung cacing dewasa ataupun autoinfeksi dari penderita itu sendiri (feses-tangan-mulut). Hewan lain dan anjing pun dapat mengandung sistiserkus di dalam dagingnya bila terinfeksi oleh telur T. solium. (Keterangan: definitive host adalah tempat parasit hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembangbiak secara seksual). Intermediat host adalah tempat parasit tumbuh menjadi bentuk infektif yang siap ditularkan kepada manusia.). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa disebut Teniasis solium, sedangkan yang disebabkan oleh stadium larva disebut sistiserkosis.

3.    Siklus Hidup
            Telur keluar dari proglotid gravid, baik setelah proglotid lepas dari strobila, ataupun belum. Telur keluar dari tubuh manusia bersama feses. Telur yang jatuh ke tanah bila termakan manusia atau babi, akan memasuki usus dan menetas di usus. Kemudian larva akan menembus dinding usus dan dapat memasuki aliran darah limpa atau aliran darah, serta beredar ke seluruh tubuh.Sebagian besar akan masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subkutan. Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang menjadi sistiserkus (cacing gelembung) yang menetap di dalam otot atau jaringan subkutan pada pundak dan punggung babi.
            Bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka sistiserkus ini akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12 minggu tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian melepasakan proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang menempati usus saat itu, namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat ditempati oleh banyak cacing. Bahkan dilaporkan cacing T. solium ini dapat bertahan dalam tubuh manusia selama 25 tahun atau lebih. Siklus hidup T. solium dan T. saginata mempunyai banyak kesamaan, hanya berbeda di host intermediatnya saja, dapat dilihat pada gambar dibawah :
Gambar 1. Daur hidup T. solium
Keterangan:
-      Orang menelan larva cacing dengan memakan daging babi yang terkontaminasi dengan larva dalam sistiserkus, yang belum matang.
-      Larava berkembang menjadi bentuk dewasa (hanya terjadi dalam tubuh manusia)…(tapeworm)
-      Cacing dewasa tersebut kemudian melekat pada lapisan usus manusia dan melepaskan telurnya dalam tinja manusia tersebut.
-      Babi kontak dengan tinja manusia  tersebut dan menelantelur cacing tersebut.
-      Telur cacing tersebut kemudian berpenetrasi menuju usus kecil babi, mamasuki pembuluh darah portal hati, kemudian memasuki sirkulasi darah umum.
-      Telur tersebut pindah ke kerangka atau otot jantung dan berubah menajdi sistiserkus.
-      Autoinfeksi dapat terjadi dalam kasus ini bila terkadang manusia yang terinfeksi tersebut tanpa sengaja menelan telur T. soilum yang terdapat pada tinjanya. Jika hal ini terjadi maka sistiserkus dapat terbentuk dalam jaringan tubuh, tapi biasanya otak merupakan temapat yang cocok berdasarkan afinitasnya. Oleh karena itu, neurosistiserkosis dapat terjadi.

4.    Gejala Penyakit
            Cacing dewasa yang berada di dalam usus jarang menimbulkan gejala. Gejala yang sering muncul adalah sakit ulu hati, nafsu makn meningkat, lemah dan berat badan menurun.
            Gejala yang disebabkan adanya sistiserkus di dalam jaringan tubuh, bermacam-macam tergantung pada organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkus. Bila jumlahnya sedikit dan hanya tersebar di jaringan subkutan, biasanya tanpa gejala atau hanya berupa benjolan-benjolan kecil di bawah kulit (subkutan). Pada manusia, sistiserkus atau larva T. solium sering menghinggapi jaringan subkutan, mata, jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut.
            Bila sistiserkus berada di jaringan otak, sumsum tulang belakang, mata atau otot jantung, akan mengakibatkan hal yang serius bahkan sampai kematian. Dilaporkan bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak dapat menyebabkan kematian.  Patologi yang berkaitan dengan sistiserkosis tergantung bagian organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkusnya. Infeksi yang hanya terdiri dari sejumlah kecil sistiserkus dalam hati atau otot biasanya tidak terlalu berbahaya  dan biasanya tanpa gejala, namun dapat juga mengakibatkan miositis, yang disertai dengan demam dan eosinofilia. Di samping itu, sejumlah sistiserkus yang sedikit, jika berlokasi dalam beberapa daeran yang sensitive pada badan, dapat menyebabkan kerusakan yang sulit diperbaiki. Contohnya, bila sistiserkus sampai di mata, dapat menyebabkan terjadinya kebutaan; sistiserkus yang sampai ke urat saraf tulang belakang, dapat menyebabkan terjadinya paralisis (kelumpuhan); atau bila sistiserkus tersebut berada di otak (neurosistiserkosis) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang dahsyat atau serangan epilepsi. Bentuk neurosistiserkosis tersebut dapat dilihat pada gambar…..Oleh karena itu, sistiserkosis yang berada di system saraf pusat atau di mata lebih mendapatkan perhatian khusus dibandingkan ketika sistiserkus tersebut berada di otot.

5.    Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium dan Diagnosis
            Sampel berupa feses penderita untuk diperiksa keberadaan proglotid dan telur cacingnya.Telur T. solium sulit dibedakan dengan telur T. saginata. Diagnosis sistiserkosis kulit dapat dilakukan dengan biopsy pada otot dan secara radiologi, pada jaringan otak dengan computerized tomographic scan (CT scan). Beberapa cara serologi yang dapat digunakan adalah uji hemaglutinasi Counter Immuno electrophoresis, ELISA, EIBT (Western Blot),  dan PCR. Telur taenia dan proglotid dapat juga diidentifikasi menggunakan mikroskop. Namun, teknik ini tidak memungkinkan dilakukan selama 3 bulan pertama setelah infeksi, karena telah berkembang menjadi cacing dewasa. Pemeriksaan mikroskopik telur tidak dapat membedakan telur kedua spesies taenia ini. Spesies tersebut hanya dapat ditentukan dari pemeriksaan proglotid nya. Teknik imunologi dapat mendeteksi adanya sistiserkus dan teknik seperti CAT dan MRI dapat juga berguna dalam mendeteksi sistiserkus dalam berbagai organ.

6.    Pengobatan
            Pengobatan teniasis solium dapat dilakukan dengan pemberian prazikuantel, sedangkan untuk sistiserkosis dapat digunakan obat prazikuantel, albendazol atau dapat dilakukan dengan cara pembedahan.

7.    Pencegahan
            Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :  
       -    Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging sampai matang.
       -    Perbaikan cara pembuangan kotoran
       -    Peningkatan hieginitas pribadi
       -    Menjaga kebersihan makanan dan minuman
       -    Mengobati penderita hingga tuntas

J.    Taenia saginata
1.    Morfologi
            Cacing dewasa panjangnya antara 5-10 m. hidup di dalam usus. Struktur badan cacing ini terdsiri dari skoleks, leher dan strobila yang merupakan ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah.
            Skoleks hanya berukuran 1-2 mm, mempunyai emapt batil isap dengan otot-otot yang kuat, tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan didalamnya tidak terliohat struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa, dewasa dan matang yang mengandung telur, disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel testis ynag berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang ebrakhir di lubang kelamin. Lubang kelamin letaknya berselang seling pada sisi kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat va deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip. Ovarium terdiri dari dua lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior dari proglotid. Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik. Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabag-cabangnya akan tumbuh, yang berjumalah 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki lubang uterus. Proglotid gravid letaknya diterminal dans erring lepas daris trobila. Proglotid gravid ini dapat bergerak aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur  secara spontan. Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya  lebih panjang dan lebar. Telur dibungkus embriofor, berisi suatu embrio heksakan yang dinamakan onkosfer. Telur yang baru keluar dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila proglotidnya berkontraksi waktu bergerak.

2.    Host
            Host definitive nya adalah manusia, sedangkan host intermediatnya adalah hewan ternak

3.    Siklus Hidup
            Telur cacing yang keluar bersama feses penderita bila terjatuh di tanah dan termakan oleh sapi atau kerbau, maka akan menetas menjadi larva di dalam usus hewan ternak tersebut. Larva ini akan menembus dinding usus, kemudian masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh sapi. Bila sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang menjadi sistiserkus. Manusia yang bersifat host definitive akan tertulari T. saginata bila memakan daging sapi yang mengandung sistiserkus, yang dimasak kurang matang. Di dalam usus, sistiserkus akan menetas dan berkembang menjadi cacing dewasa. Dalam waktu 12 minggu, cacing dewasa dapat menghasilkan telur kembali. Bagian ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot maseter, paha belakang dan punggung.otot dib again lain juga dihinggapi. Setelah satu tahun, cacaing ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun ada juga yang dapat hidup samapi tiga tahun. Biasanya di rongga usus host terdapat sesekor cacing.

Gambar 2 Daur Hidup Taenia saginata
Keterangan gambar:
-      Tinja manusia yang mengandung telur cacing. Telur cacing kemudian tertelan oleh hewan ternak. Telur tersebut menetas untuk melepaskan larva dengan hexacynth (six-hooked)di usus kecil. Larva tersebut kemudian pindah ke usus kecil dan memasuki system peredaran darah. Larva terbawa sampai ke beberapa jaringan seperti jantung dan otot-otot lain untuk membentuk sistiserkus. Manusia kemudian terinfeksi dengan cara menelan sistiserkus yang terdapat dalam daging hewan ternak tersebut yang tidak dimasak dengan baik. Begitu tertelan, skolek parasit tersebut melekat pada dinding usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang matang yang dapat menetaskan telurnya melalui tinja manusia yang terinfeksi tersebut.




4.    Gejala Penyakit
            Biasanya tanpa gejala. Pada infeksi yang berat, dapat timbul gejala berupa sakit ulu hati, nafsu makan meningkat, lemas dan berat badan menurun. Kadang-kadang disertai dengan vertigo, nausea, muntah, sakit kepala dan diare.gejala tersebut biasanya timbul bila ditemukan cacing yang bergerak-gerak dalam tinja, atau cacing keluar dari lubang dubur, walaupun yang sebenarnya keluar adalah proglotid cacing. Gejala yang lebih berat dapatterjadi bila proglotid menyasar masuk ke apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi.

5.    Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium
            Sampel yang diperiksa untuk mendeteksi infeksi oleh T. saginata adalah feses penderita. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing dan proglotidnya.proglotid tersebut dapat dalam keadaan masih aktif bergerak di dalam tinja atau keluar spontan. Telur cacing dapat ditemukan dalam tinja atau usap anus.proglotid dapat diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabng-cabangnya terlihat jelas, jumlh cabang-cabang dapat dihitung.

6.    Pengobatan
            Obat yang digunakan untuk mengobati teniasis saginata dapat berupa obat herbal, seperti biji labu merah dan biji pinang atau obat sintetis seperti kuinakrin, amodiakuin, niklosamid dan prazikuantel.

7.    Pencegahan
            Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
-      Memasak daging samapi matang
-      Hanya hewan yang sehat saja yang boleh dipotong dan dagingnya dapat diperjualbelikan.
-      Atau dengan membekukan daging pada suhu -5˚C selama 4 hari, -15˚C selama 3 hari, atau -24˚C selama 1 hari, dapat membunuh larva dengan baik.

BAB III
PENUTUP 
A.   Kesimpulan
            Taenia merupakan salah satu marga cacing pitayang termasuk dalam KerajaanAnimalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa Cyclophyllidea, Suku Taeniidae.  Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasitvertebratapenting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau.
            Cacing pita Taenia dewasa hidupdalam usus manusiayang merupakan induksemang definitif.  Segmen tubuh Taeniayang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusiaatau secara pasif bersama-sama fesesmanusia.  Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapidan babi) menelan telurmaka teluryang menetas akan mengeluarkan embrio(onchosphere) yang kemudian menembus dindingusus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu.  Ototyang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leherdan otot antar tulangrusuk.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Parasitologi FKUI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. FKUI : Jakarta.
Entjang, Indan. 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Safar, Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran Protozoologi, Helmintologi, Entimologi. PT. Yrama Widya : Bandung.


Makalah Tentang Cestoda

Download File Lengkapnya => DISINI <=

Makalah Tentang Cestoda

Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Kematian Sel
Dewasa ini, perkembangan penyakit amat pesat. Penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian sel. Banyak agen yang dapat menyebabkan kematian sel, salah satunya adalah mikroba. Mikroba patogen dapat menyebabkan suatu penyakit dalam tubuh manusia. Salah satu caranya yaitu dengan merusak sel dan organelnya. Kemudian respon sel yang utama adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia. Jika respon berlebihan akan terjadi jejas (cedera sel) dan berlanjut pada kematian sel (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas tersebut dapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung. Namun, ketika lingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang mana sel tidak akan kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan mati. Kematian sel memiliki dua macam pola, yaitu nekrosis dan apoptosis. Berikut perbedaannya (Kumar; Cotran & Robbins, 2007) :

Tabel 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

Gambar 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksilin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).

A.  Transmisi saraf
1.    Sistem Saraf
Sistem saraf bekerja melalui jaringan interkoneksi miliaran neuron. Neuron ini mengirimkan informasi dalam bentuk impuls saraf, seluruh sistem saraf dan dengan demikian, mengkoordinasikan berbagai fungsi tubuh.
Sistem saraf manusia adalah sebuah jaringan yang sangat khusus, yang berisi miliaran neuron, dan bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan semua fungsi tubuh. Sistem ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan dunia luar dan terdiri dari dua komponen, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS).
Sistem saraf pusat meliputi otak dan sumsum tulang belakang, sedangkan sistem saraf perifer terdiri dari semua neuron tubuh, kecuali yang ditemukan di otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf manusia yang bersangkutan dengan menerima informasi dari dunia luar, pengolahan, dan kemudian menghasilkan respon yang tepat. Ini adalah jaringan yang mengontrol dan mengkoordinasikan semua kegiatan tubuh, dengan mengirimkan pesan atau sinyal dari otak ke bagian-bagian berbeda dari tubuh dan sebaliknya.

2.    Transmisi Impuls saraf
Sistem saraf manusia mengandung miliaran sel saraf dan sekitar 86 miliar dari mereka yang ditemukan di otak saja. Setiap neuron memiliki badan sel, dari mana banyak proyeksi-seperti cabang muncul, yang dikenal sebagai dendrit. Dendrit biasanya terlihat seperti cabang-cabang pohon. Pada ujung sel tubuh, panjang, proyeksi ramping dapat ditemukan, yang dikenal sebagai akson. Dendrit mengambil impuls dalam bentuk sinyal listrik dari neuron lain, yang kemudian diturunkan akson ke neuron atau sel lain.
Akson dari sebagian besar neuron ditutupi oleh selubung mielin, yang insulates sel saraf dan mempercepat transmisi impuls saraf. Beberapa akson dapat melakukan perjalanan hingga satu meter atau lebih di dalam tubuh manusia, sebelum bercabang di akhir. Cabang-cabang yang timbul dari akson yang sedikit bengkak di ujung, dan tips bengkak dikenal sebagai, tombol-tombol synaptic atau tombol terminal. Untuk transmisi impuls, neuron membentuk struktur khusus yang disebut sinapsis, dengan neuron lain dan sel-sel tubuh. Sinapsis biasanya berfungsi sebagai persimpangan, di mana impuls atau informasi dapat mengalir dari satu neuron yang lain.
Pada dasarnya ada tiga unsur sinapsis, membran presynaptic neuron sinyal-lewat (yang dapat biasanya ditemukan di tombol sinaptik dari akson), membran postsynaptic terletak di dendrit atau sel target, dan celah sinaptik, yang merupakan ruang antara presinaptik dan membran pos sinaptik. Ada terutama dua jenis sinapsis, sinapsis kimia dan sinapsis listrik, dan keduanya berbeda dalam cara mereka mengirim impuls dari satu neuron yang lain.

B.  Transduksi Sinyal
Transduksi sinyal merupakan proses penyampaian pesan. Jadi ada pesan dari luar sel trus di membran sel ia ketemu reseptornya dan mengakibatkan ada suatu tanggapan dari dalam sel.
Transduksi signal merupakan pemerosesan sinyal dalam sel yang kemudian sinyal distribusikan. Sinyal akan di amplifikasi oleh sel sehingga cukup untuk menghasilkan respon. (hormone produksinya sedikit sehingga perlu diamplifikasi).  Prinsipnya: Sinyal yang tidak bisa masuk dalam sel akan diterima pada reseptor permukaan yang akan menghasilkan berbagai macam reaksi transduksi sinyal yang akan menghasilkan perubahan berbagai macam protein di dalam sel (mengubah aktifitas enzim, merubah keaktifan factor transkripsi, mengubah struktur dan komposisi protein sitoskeleton) sehingga adanya sinyal bisa mengubah metabolism sel (enzim menjadi lebih aktif, mengubah excotic gen, reseptor ekstraseluler, mengubah bentuk sel, kontraksi, berpindah --> perilaku sel berubah).

Berikut klasifikasi reseptor berdasarkan sinyal tranduksi ;

1.    Reseptor Ligand-Gated Ion Channel / Ion-channel linked receptors\
Disebut juga reseptor ionotropik. Reseptor membran yang langsung terhubung oleh suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yg cepat. Cth. Reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAa dan reseptor Glutamat.

Ligand (obat) berinteraksi dg reseptor >> signal >> konformasi reseptor >> kanal ion terbuka >> ion masuk >>depolarisasi / hiperpolarisasi 

2.    G-Protein Coupled Receptors/ Reseptor Yg tergandeng dg Protein G
Merupakan reseptor membran yangg tergandeng sistem efektor yangg disebut protein G. Disebut juga reseptor metabotropic.Reseptor 7 transmembran , karena rangkaian peptida reseptor ini melintasi membran sebanyak 7 kali. Memperantarai aksi yg lambat beberapa neurotransmitter dan hormone. Cth. Reseptor asetilkolin muskarinik, adrenergik, dopaminergik dan serotonin.


Transmisi Sinyal melewati membran sel terjadi dlm 4 tahap :
·      Ikatan ligand (obat) dg reseptor.
·      Reseptor mengaktifkan G-protein.
·      G-protein yg aktif akan mengaktifkan enzim tertentu atau mempengaruhi kanal ion tertentu.
·      Aktivasi enzim menyebabkan perubahan konsentrasi “ second messenger”.

a.    Tyrosine Kinase-Linked Receptors/ Reseptor yg terkait aktivitas Kinase
Merupkan reseptor single transmembran. Memiliki aktivitas kinase dlm signal transduksinya. Cth. Reseptor sitokin, reseptor growth factor, reseptor insulin,

Mekanisme :
·         Obat atau hormon mengikat ‘extracellular domain’.
·         Allosteric effect… autofosforilasi pada ‘intracellular domain’.
·         ‘intracellular domain’ yg telah mengalami fosforilasi selanjutnya akan memfosforilasi protein substrat.

b.    Ligand-Activated Transcription Factors / Intracellular Receptors
Reseptor ini berada di dalam sitoplasmik atau nukleus. Aksinya langsung mengatur transkripsi gen yg menentukan sintesis protein tertentu. Cth. Reseptor steroid, reseptor estrogen, reseptor PPARγ (Peroxisome Proliferators-Activated Receptor)
Mekanisme :
·      Cytosolic receptors.  Steroid hormon menembus membran sel dan mengikat reseptor di sitoplasma.  Kompleks ligand-reseptor ditranspor masuk ke nukleus dan berikatan dg rantai DNA untuk meregulasi transkripsi gen.
·      Nuclear receptors.  Thyroid hormon masuk ke dalam sel dan secara pasif masuk ke nukleus untuk berikatan dengan reseptornya.


A.  Toksin Bakteri dan Kanker
Toksin adalah zat racun yang dihasilkan oleh beerapa spesies bakteri.  Menurut penggolongan  toksin, toksin bakteri dibagi menjadi 2 yaitu:
1.    Endotoksin
2.    Eksotoksin

a.    Eksotoksin
Adalah toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel.
Kuman-Kuman yang dapat menghailkan eksotokin misalnya:
1)   Corynebacterium diphteriae
2)   Shigella dysentriae          
3)   Clostridium tetani
4)   Clotridium botolium
5)   Clotorium elcbii
6)   Vibrio chlorea
7)   Beberapa stain Escherichia coli
Pada infeki bakteri-bakteri tersebut,eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,keadaan ini dinamakan taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari sel bakteri dengan jalan penyaringan.
Contoh eksotoksin yang mengganggu kesehatan manusia dihasilkan oleh Corynebacterim diphtheri, Clostridium tetani dan Clostridium botulinum. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang pertama kali dapat dihablurkan.Toksin ini kedapatan pada makanan yang basi.Orang akan mati,jika termakan olehnya 0,0024 miligram toksin ini.
Kebanyakan eksotoksin mudah terurai dengan perebusan atau penyinaran yang kuat. Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan membawa maut jika masuk dalam peredaran darah. Pengalaman menunjukkan bahwa, penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin menyebabkan timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut. Antitoksin ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum/ serum therapy
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
-       Mudah dilarutkan dalam air
-       Termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua putih telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat membuat endapan.
-       Bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan gejala dan mengenai alat-alat tertentu
-       Kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika dipanaskan pada 56o  c (bersifat termolabil). Akan hilang juga kekuatannya apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam suhu kamar atau dicampur dengan bahan kimia.
-       Bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam badannya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin).


a.    Endotoksin
Adalah toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap diproduksi dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas. Dalam hal ini dianggap bahwa bakteri itu menyebabkan sakit, apabila bahan-bahan toksin keluar setelah bakteri itu mati atau hancur, toksin tersebut dinamakan endotoksin, dengan sifat umumnya ialah :
1)   Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur yang tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
2)   Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga tidak spesifik.
3)   Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun lalu belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Kalau kita lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan yang lewat itu tidak mengandung toksin,akan tetapi jika kita ambil bakteri yang sudah mati,nyatalah adanya toksin. Dari kejadian ini dapatlah kita tarik kesimpulan,bahwa toksin itu semula kedapatan terkurung di dalam sel bakteri.Akhir-akhir ini orang telah berhasil memecahkan sel-sel bakteri secara mekanis dengan demikian terlepaslah isinya dari sel dan endotoksin muncul dalam keadaan lepas dari sel.
Contoh :
a.    Endotoksin dari Salmonella typhi dapat diekstrak dengan asam trichlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida lipoid.
b.    Endotoksin dari Vibrio chlorea yang diekstrak denagn asam trichlorasetat berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.

B.  Interaksi dengan sitokin

a.    Interaksi Senyawa Kimia dengan Organisme
Ilmu yang mempelajari tentang interaksi senyawa kimia dengan organisme hidup disebut farmakologi, dengan demikian toksikologi sebetulnya merupakan cabang farmakologi. Farmakologi tidak hanya mempelajari senyawa kimia yang mempunyai manfaat dalam bidang pengobatan dan terapi medik tetapi juga mencakup semua senyawa kimia yang aktif secara biologi, termasuk yang bersifat racun. Pengertian racun adalah zat yang berpengaruh merugikan pada organisme yang terpapar. Kehadiran suatu zat atau senyawa kimia yang potensial toksik di dalam tubuh organisme belum tentu menimbulkan gejala keracunan (sola dosis facit venenum), sebagai contoh: timbal (Pb), merkuri (Hg) dan DDT tidak menimbulkan gejala keracunan apabila jumlah yang diabsorbsi berada di bawah dosis toksik tetapi akan menjadi racun apabila jumlah yang diabsorbsi berada pada dosis toksik.
Setiap bahan kimia apabila diabsorbsi dalam jumlah sangat besar, termasuk air bersih, ternyata dapat menimbulkan efek racun. Ada juga bahan kimia yang pada dosis sangat rendah sudah beracun, misalnya toksin Clostridium botulinum. Dalam mempelajari interaksi antara senyawa kimia aktif dengan organisme hidup, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan:

1.    farmakodinamik atau toksodinamik, yaitu kerja senyawa kimia yang aktif secara biologik;
2.    farmakokinetik atau toksokinetik, yaitu pengaruh organisme terhadap senyawa kimia aktif.

b.    Kerja Bahan Toksik
Kerja atau aktivitas bahan toksik umumnya berupa serangkaian proses yang sebagian diantaranya bahkan sangat kompleks. Pada berbagai kerja toksik dan mekanisme kerjanya, dapat dibedakan dua hal berikut: Universitas Gadjah Mada

1.    Kerja toksik: suatu proses yang dilandasi oleh interaksi kimia antara zat kimia atau metabolitnya dengan substrat biologik membentuk ikatan kimia kovalen yang bersifat tidak bolak-balik (ireversible).
2.    Pengaruh toksik: perubahan fungsional yang disebabkan interaksi bolak-balik (reversible) antara zat asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik dapat hilang jika zat asing tersebut dikeluarkan dari dalam plasma.
Kerja toksik pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: (1) fase eksposisi, (2) fase toksokinetik dan (3) fase toksodinamik.
1.    Fase eksposisi
Apabila obyek biologik mengalami kontak dengan suatu zat kimia, maka efek biologik atau efek toksik hanya akan terjadi setelah zat tersebut terabsorbsi. Zat kimia yang dapat terabsorbsi umumnya bagian zat yang berada dalam bentuk terlarut dan molekulnya terdispersi. Absorbsi zat sangat tergantung pada konsentrasi dan jangka waktu kontak zat dengan permukaan organisme yang mampu mengabsorbsi zat. Apabila organisme air mengalami kontak dengan zat kimia toksik, maka jenis zat toksik tersebut berpengaruh terhadap daya absorbsi dan toksisitasnya. Selama fase eksposisi, zat kimia toksik dapat berubah menjadi senyawa yang lebih toksik atau kurang toksik melalui reaksi kimia tertentu.

2.    Fase toksokinetik
Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksokinetik atau farmakokinetik:
1.    Proses transpor (meliputi absorbsi, distribusi dan ekskresi)
Proses transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung melalui:

a.    Tranpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat kimia terlarut melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh gradien konsentrasi di kedua sisi membran sel dan juga dipengaruhi oleh tetapan difusi zat. Universitas Gadjah Mada b. Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus dengan bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa. Jumlah molekul yang dapat ditransportasi per satuan waktu tergantung pada kapasitas sistem yaitu jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiaptiap tempat ikatan tersebut. Apabila konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus menerus meningkat, maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh sehingga laju transpor tidak meningkat terus menerus tetapi akan mencapai titik maksimum.

b.    Perubahan metabolik atau biotransformasi
Biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase reaksi yaitu reaksi fase I (reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi konjugasi). Reaksi penguraian meliputi pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Reaksi penguraian akan menghasilkan atau membentuk zat kimia dengan gugus polar yaitu gugus —OH, -NH2 atau —COON. Pada reaksi konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus polar akan dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga berubah menjadi bentuk terlarut dalam air dan dapat diekskresikan oleh ginjal.
Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi detoksifikasi sehingga produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun reaksi biotransformasi, khususnya konjugasi, pada umumnya menyebabkan inaktivasi zat tetapi metabolit aktif dapat terbentuk karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila metabolit aktif bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi.

2.     Fase toksodinamik
Ease toksodinamik atau farmakodinamik meliputi interaksi antara molekul zat kimia toksik dengan tempat kerja spesifik yaitu reseptor. Organ target dan tempat kerja tidak selalu sama, sebagai contoh: suatu zat kimia toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf pusat juga dapat menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat toksik menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat ditemukan konsentrasi zat kimia toksik yang cukup inggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.
Kerja kebanyakan zat aktif biologik, terutama zat toksik umumnya disebabkan oleh interaksi zat tersebut dengan enzim. Kerja terhadap enzim yang berperanan pada proses biotransformasi xenobiotik dan termasuk fase toksokinetik tidak termasuk interaksi, sedangkan kerja terhadap enzim yang berpengaruh langsung pada timbulnya efek toksik termasuk interaksi. Interaksi antara zat toksik dengan sistem enzim antara lain berupa: inhibisi enzim secara tidak bolakbalik, inhibisi enzim secara bolak-balik, pemutusan reaksi biokimia, inhibisi fotosintetik pada tumbuhan air, sintesis zat mematikan, pengambilan ion logam yang penting bagi kerja enzim dan inhibisi penghantaran elektron dalam rantai pernafasan.
Pada kasus-kasus peracunan tertentu terjadi inhibisi transpor oksigen karena adanya gangguan kerja pada hemoglobin (Hb). Terjadinya inhibisi pada transpor oksigen antara lain dapat disebabkan oleh:

1)   Keracunan karbon monoksida
Karbon monoksida (CO) mengandung tempat ikatan yang sama pada hemoglobin seperti oksigen sehingga dapat menghilangkan kemampuan Hb mengikat oksigen (O2). Kompleks ikatan Hb dengan CO disebut karboksi hemoglobin yang cenderung lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2.

2)   Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin merupakan hasil oksidasi Hb yang sudah tidak memiliki kemampuan lagi mengangkut O2. Jika methemoglobin hanya terbentuk dalam jumlah kecil, maka dapat direduksi kembali menjadi Hb dengan bantuan enzim methemoglobinreduktase.

3)   Proses hemolitik
Hemolitik merupakan proses pembebasan Hb dari dalam eritrosit akibat kerusakan membran eritrosit. Hemoglobin yang dibebaskan akan kehilangan kemampuan mengikat O2.
Beberapa jenis zat kimia setelah masuk ke dalam tubuh organisme dapat berinteraksi dengan fungsi umum sel. Interaksi zat kimia dengan fungsi umum sel tersebut antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk efek narkose. Disamping itu, interaksi zat kimia tertentu dengan fungsi sel umum dapat diwujudkan dalam bentuk gangguan pada penghantaran rangsang neurohumoral. Mekanisme gangguan penghantaran rangsang tersebut disebabkan zat kimia mempengaruhi sinapsis antara sel saraf satu dengan sel saraf lainnya atau mempengaruhi ujung sel saraf efektor.
Zat-zat toksik tertentu juga dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN (asam deoksiribonukleat) dan ARN (asam ribonukleat). Gangguan tersebut dapat tejadi pada: penggandaan ADN selama pembelahan sel, transkripsi informasi ADN kepada ARN, penyampaian informasi melalui ARN pada sintesis protein, penghambatan sintesis enzim yang berperan serta, dan proses pengaturan yang menentukan pola aktivitas sel.
Disamping dapat menyebabkan gangguan pada sintesis ADN dan ARN, beberapa zat toksik tertentu juga dapat berpengaruh terhadap organisme melalui mekanisme kerja sitostatika (penghambatan pembelahan sel), kerja imunsupresiva (penekanan pertahanan imunologi melalui penekanan proliferasi sel tertentu, terutama limfosit), kerja mutagenik (mengubah sifat genetik sel), kerja karsinogenik (pemicu timbulnya tumor), kerja teratogenik (penyebab organisme lahir cacat), reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, iritasi pada jaringan, toksisitas pada jaringan dan penimbunan zat asing.


DAFTAR PUSTAKA 

-       Darmono.2006. Farmakologi Dan Toksikologi Sistem Kekebalan: PengaruhPenyebab Dan Akibatnya Pada Kekebalan Tubuh. Jakarta: Universitas Indonesia.

-     Fedik A.Rantam. 2003. Metode Imunologi. Jakarta: Universitas Airlangga. Pacito. 2010. Sistem Imunitas.

- Maharani, Yusniar, 2013. Disposisi dan metabolisme senyawa toksik. http//:yusniar-maharani.blogspot.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015.

-       Pallar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.

-       Budiawan, nat, rer, Dr, 2008. Peran Toksikologi Forensik Dalam Mengungkap Kasus Keracunan Dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):35-39. Jakarta.

-       Anonim a, 2013. Toksikologi Timbal (pb). http//:bio-science.wordpress.com/. diakses pada tanggal 19 Mei 2015

-     Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, UI Press.

-     Mansur. 2008. Toksikologi dan distribusi agent toksik.http://library.usu.ac.id/ download/fk/kedokteran-mansyur2.pdf


Efek Biologi Dari Anti Toksin
-       Kematian sel
-       Transmisi saraf
-       Transduksi signal
-       Toksin bakteri dan kanker
-       Interaksi dengan sitokin




#Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin

Download File Lengkapnya => DISINI <=

Makalah Efek Biologi Dari Anti Toksin