Makalah Mikroba Pada Bahan Pangan - OFO

Halaman

    Social Items

Makalah Mikroba Pada Bahan Pangan

BAB I
PENDAHULUAN
 Mikroba Pada Bahan Pangan
1.1              Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga ketersediaan pangan perlu mendapat perhatian yang serius baik kuantitas maupun kualitasnya. Perhatian pemerintah terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan pangan, agar masyarakat mem-peroleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi.
Bahan pangan dapat berasal dari tanaman maupun ternak. Produk ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak juga akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman dikonsumsi. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar lagi.
Beberapa kasus keracunan atau penyakit karena mengonsumsi makanan yang tercemar mikroba telah banyak terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan pangan masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang sering menimbulkan masalah antara lain adalah antraks, foodborne disease, dan waterborne disease, sedangkan mikroba yang biasa mencemari bahan pangan asal ternak di antaranya adalah Salmonella sp., Escherichia coli, Coliform, Staphylococcus  sp.,  dan Pseudomonas. Hal ini disebabkan bahan pangan asal ternak merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen.
Bahan pangan asal ternak (daging, telur, susu) serta olahannya mudah rusak dan merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Cemaran mikroba pada pangan asal ternak yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Champhylobacter sp., dan Listeria sp. (Syukur 2006). Beberapa cemaran mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004). Jumlah dan jenis mikroba berbahaya pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatir-kan, terlebih lagi bila pemotongan ayam dilakukan di pasar tradisional
Cemaran mikroba dapat terjadi saat ternak masih hidup dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Titik awal rantai penyediaan pangan asal ternak adalah kandang. Tata laksana peternakan sangat menentukan kualitas produk ternak. Cemaran pestisida pada air, tanah, dan tanaman pakan yang diberikan kepada ternak dapat masuk ke dalam tubuh ternak dan residunya akan ditemukan dalam produk ternak. Selain residu pestisida, residu obat hewan terutama antibiotik dapat terjadi pada produk ternak akibat pemberian antibiotik tanpa memperhatikan anjuran pemakaian. Oleh karena itu, menjaga kesehatan ternak sangat penting untuk mengurangi pemberian obat-obatan kepada ternak
Pengolahan bahan pangan asal ternak dapat menekan atau menghambat per-tumbuhan bakteri dalam produk pangan tersebut. Namun, pengolahan tidak selalu dapat menghilangkan bakteri yang mencemari produk ternak saat berada di peternakan atau pada saat panen.
  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.            Cemaran Mikroba Pada Susu
Susu adalah bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing pada hewan mamalia (sapi, kambing, kerbau, dan kuda) serta mengandung protein, lemak, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu memiliki kandungan gizi yang tinggi dan merupakan bahan makanan sempurna, karena mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh manusia dalam jumlah yang cukup dan seimbang, yaitu 1 bagian karbohidrat, 17 asam lemak, 11 asam amino, 16 vitamin, dan 21 mineral. Oleh karena itu, susu dapat dijadikan pilihan pertama untuk dikonsumsi bagi penderita gizi buruk. Ketersediaan susu perlu diperhatikan untuk memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan manusia. Karena itu, susu akan mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak memperhatikan aspek kebersihan. Karena itu, upaya memenuhi ketersediaan susu harus disertai dengan peningkatan kualitas dan keamanan produk susu, karena seberapa pun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan akan menjadi tidak berarti bila bahan pangan tersebut berbahaya bagi kese-hatan.
Pada umumnya, bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat di kandang dapat menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak higienis. Pemerahan susu yang tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan susu tercemar mikroorganisme dari lingkungan sekitar sehingga kualitas susu menurun.
Proses pencemaran mikroba pada susu dimulai ketika susu diperah karena adanya bakteri yang tumbuh di sekitar ambing, sehingga saat pemerahan bakteri tersebut terbawa dengan susu. Menurut Rombaut (2005), pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara.
Bakteri yang dapat mencemari susu terdiri atas dua golongan, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Kedua golongan bakteri tersebut dapat me-nyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh susu (milkborne disease), seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tipoid.Mikroorganisme lain yang terdapat di dalam susu yang dapat menyebabkan penyakit adalah Salmonella, Shigella, Bacillus cereus, dan S. aureus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam susu melalui udara, debu, alat pemerah, dan manusia.
Mikroorganisme yang berkembang dalam susu dapat menurunkan kualitas susu dan mempengaruhi keamanan produk tersebut bila dikonsumsi oleh manusia. Beberapa kerusakan pada susu yang disebabkan oleh cemaran mikroorganisme adalah:
1.    Pengasaman dan penggumpalan, yang disebabkan oleh fermentasi laktosa menjadi asam laktat sehingga pH susu menurun dan kasein menggumpal.
2.    Susu berlendir seperti tali karena ter-jadinya pengentalan dan pemben-tukan lendir akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri.
3.    Penggumpalan susu tanpa penurunan pH yang disebabkan oleh bakteri B. cereus.

Sebelum mengonsumsi susu perlu diperhatikan terlebih dahulu kondisi susu tersebut. Susu segar yang baik adalah yang memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), yaitu: 1) tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan, 2) tidak mengandung agens penyebab penyakit, misalnya mikroba penyebab penyakit hewan menular (bakteri tipus, TBC) dan residu bahan berbahaya (antibiotik, logam berat, pestisida, hormon), 3) tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apa pun, dan 4) mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang.

2.2.            Cemaran Mikroba Pada Daging
Daging adalah bagian dari hewan yang dipotong dan lazim dikonsumsi manusia, termasuk otak serta isi rongga dada dan rongga perut. Hewan potong yang dimaksud adalah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing), kuda, dan unggas (ayam, itik, entok, burung dara, kalkun, angsa, burung puyuh, dan belibis). Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan di-potong. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis. Pencemaran mikroba terjadi sejak di peternakan sampai ke meja makan. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah: 1) hewan (kulit, kuku, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan.
Daging merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba karena: 1) memiliki kadar air yang tinggi (68,75%), 2) kaya akan zat yang me-ngandung nitrogen, 3) kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroba, dan 4) mengandung mikroba yang mengun-tungkan bagi mikroba lain (Betty dan Yendri 2007). Perlakuan ternak sebelum pemotongan akan berpengaruh terhadap jumlah mikroba yang terdapat dalam daging. Ternak yang baru diangkut dari tempat lain hendaknya tidak dipotong sebelum cukup istirahat, karena akan meningkatkan jumlah bakteri dalam daging dibandingkan dengan ternak yang masa istirahatnya cukup.
Daging yang tercemar mikroba me-lebihi ambang batas akan menjadi ber-lendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Mikroba yang dapat mencemari daging antara lain adalah Salmonella sp., E. coli, Coliform, Staphylococcus sp., dan Pseudomonas.
Kontaminasi mikroba pada daging dapat pula terjadi melalui permukaan daging pada saat pembelahan karkas, pen-dinginan, pembekuan, penyegaran daging beku, pemotongan, pembuatan produk daging olahan, pengawetan, pengepakan, penyimpanan, dan pemasaran. Berdasar-kan SNI 01-3932-1995, yang dimaksud dengan karkas sapi adalah: 1) tubuh sapi sehat yang telah disembelih dan dikuliti, 2) tanpa kepala, kaki bagian bawah dan alat kelamin (pada sapi jantan) atau ambing (pada sapi betina), 3) dengan/atau tanpa ekor, 4) isi perut dan rongga dada dikeluarkan, dan 5) utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas daging, terutama pada saat penyimpanan, adalah:
1)   Karkas segar: karkas yang baru selesai diproses selama tidak lebih dari 6 jam dan tidak mengalami perlakuan lebih lanjut.
2)   Karkas dingin segar: karkas segar yang segera didinginkan setelah selesai di-proses sehingga suhu daging menjadi 4−5°C. Jika disimpan pada suhu 0°C, karkas masih layak dikonsumsi dalam beberapa minggu.
3)   Karkas beku: karkas yang telah meng-alami proses pembekuan cepat atau lambat dengan suhu penyimpanan 12−18°C. Jika disimpan pada suhu -6,60 sampai -17,70°C maka karkas beku tahan selama 3−12 bulan.

2.3.             Penyakit Akibat Cemaran Mikroba Dalam Bahan Pangan
Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan hepatitis A (Winarno 1997). Penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri dan sering menimbulkan masalah serta memiliki dampak yang cukup berbahaya terhadap kesehatan manusia antara lain adalah antraks, salmonellosis, brucellosis, tuberkulosis, klostridiosis, E. coli, koli-basilosis,dan S. aureus(Supar 2005).
Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi (Bahri 2001). Makanan yang terkontaminasi selama pengolahan dapat menjadi media penularan penyakit. Penularan penyakit ini bersifat infeksi, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang hidup dan berkembang biak pada tempat terjadinya peradangan. Mikroba masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian dicerna dan diserap oleh tubuh. Dalam kondisi yang sesuai, mikroba patogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit. Foodborne disease yang disebabkan oleh salmonella dapat menyebabkan kematian pada manusia, media pencemarannya dapat berasal dari air pencuci yang telah terkontaminasi. Mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan foodborne disease antara lain Compylobacter, E. coli, dan Listeria (Tabel 1). Gejala umum foodborne disease adalah perut mual diikuti muntah-muntah, diare, demam, kejang-kejang, dan gejala lainnya.
Memperbaiki sanitasi terutama ling-kungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air tercemar tinja yang mengandung kuman penyakit, menyebab-kan terjadinya waterborne disease.
Angka kejadian waterborne disease dan food borne disease  di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 300−1.000 penduduk menderita diare dan dua pertiga penduduk terinfeksi cacingan. Diare yang diakibatkan oleh adanya bibit penyakit dalam makanan merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap anak berusia 5 tahun ke bawah (balita) rata-rata menderita diare 2−3 kali per tahun, sedangkan 15 dari 1.000 anak-anak meningal karena diare. Di negara berkembang, 70% penyakit diare dewasa ini dianggap disebabkan oleh makanan yang mengandung penyakit.

2.4.            Pengendalian Cemaran Mikroba
Pemberlakuan perdagangan bebas mengharuskan keamanan pangan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, produsen, dan konsumen. Diera pasar bebas, industri pangan Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain yang telah mapan dalam system penanganan mutunya.
Penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi keamanan pangan, yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) kepada masyarakat perlu dilakukan melalui pe- ngendalian residu dan cemaran mikroba. Upaya ini sangat bermanfaat bagi peme- rintah sebagai pengawas peredaran bahan pangan asal ternak di pasar, terutama mengenai batas maksimum residu antibiotik dan cemaran mikroba, produsen sebagai penghasil produk, maupun konsumen untuk menjamin keamanan dan kesehatan masyarakat.
Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi (Gambar 1). Tahap awal dimulai dari budi daya, yaitu perlu diterapkan praktek beternak yang baik (good farming practices, GFP), meliputi sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang dan pemberian pakan ternak yang bebas jamur atau aflatoksin. Selanjutnya pada tahap pascapanen perlu dilakukan praktekpenanganan pascapanen yang baik (good handling practices, GHP). Pada tahap ini perlu diperhatikan peralatan atau mesin yang digunakan untuk penanganan pascapanen. Pada saat pemotongan ternak, misalnya, pisau yang disediakan untuk memotong ternak minimal 2 buah dan digunakan secara bergantian untuk menghindari kontaminasi silang dari ternak yang dipotong. Selanjutnya, pada tahap pengolahan perlu diterapkan good manufacture practices (GMP), sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi. Pada tahap ini perlu diperhatikan penggunaan zat-zat yang aman dan efektif untuk pengolah makanan.
Sistem keamanan pangan yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional adalah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Sistem ini menekankan pada pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi bahan, produk, dan proses.
Pendekatan HACCP meliputi tujuh prinsip yaitu:
1)   Analisis potensi bahaya, bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi bahaya yang diperkirakan dapat terjadi pada setiap langkah produksi makanan.
2)   Penentuan titik kendali kritis, merupakan langkah tindak lanjut dari analisis potensi bahaya. Potensi bahaya yang telah teridentifikasi harus diikuti dengan satu atau lebih critical control point (CCP).
3)   Penetapan batas kritis. Batas kritis mencerminkan batasan yang digunakan untuk menjamin proses yang berlangsung dapat menghasilkan produk yang aman
4.    Penetapan sistem pemantauan. Pada tahapan ini dilakukan serangkaian pengamatan atau pengukuran untuk memeriksa apakah CCP di bawah kendali dan untuk memperoleh catatan yang akurat untuk digunakan dalam verifikasi.
5.    Penetapan tindakan korektif. Pada tahapan ini dilakukan tindakan per-baikan terhadap produk bila CCP melampaui batas kritis.
6.    Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur tambahan untuk me-mastikan bahwa sistem HACCP ber-jalan dengan efektif.
7.    Penetapan dokumentasi dan penyim-panan. Tahapan ini mencakup semua dokumentasi dan catatan yang sesuai untuk rencana HACCP, seperti rincian analisis bahaya, penentuan CCP dan batas kritis, pemantauan dan verifikasi .

Di samping meningkatkan keamanan pangan, beberapa hal yang perlu diper-hatikan untuk mengeliminasi dampak pencemaran mikroba pada bahan pangan adalah: 1) meningkatkan pengetahuan ekologi dan epidemiologi alami untuk menetapkan metode diagnosis yang akurat, 2) mengidentifikasi titik kritis terjadinya kontaminasi agens penyakit ke dalam mata rantai pangan asal ternak, 3) meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba, dan 4) memperluasstakeholder dan meningkatkan koordinasi dengan dinas/instansi terkait.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1)   Pengolahan untuk menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri, walaupun cara ini belum selalu dapat menghilangkan bakteri yang mence-mari produk ternak saat berada di peternakan atau pada saat panen.
2)   Pengendalian residu dan cemaran mikroba pada produk pangan asal ternak dengan menekankan batas maksimum residu antibiotik.
3)   Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacture practices(GMP).
4)   Meningkatkan pengetahuan, kesadar-an, dan kepedulian masyarakat ter-hadap penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba sehingga dapat mengeliminasi dampak yang ditimbul-kan oleh pencemaran mikroba pada bahan pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani. 2005. Escherichia coli 0157 H:7 sebagai penyebab penyakit zoonosis. Prosi-ding Lokakarya Nasional Penyakit Zoono-sis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Bahri, S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3): 225−242.
Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikroba pada bahan pangan, pakan, dan produk peternakan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(2): 55−64.
Balia, R.L., E. Harlia, dan D. Suryanto. 2008. Jumlah Bakteri Total dan Koliform pada Susu Segar Peternakan Sapi Perah Rakyat dan Susu PasteurisasiTanpa Kemasan di Pedagang Kaki Lima. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Betty dan Yendri. 2007. Cemaran mikroba terhadap telur dan daging ayam. Dinas Pe-ternakan Provinsi Sumatera Barat, Padang.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Food Technology. Inter-national Development Program of Australian Universities and College. Department of Education and Culture, Directorate General of Higher Education.
Budinuryanto, D.C., M.H. Hadiana, R.L. Balia, Abubakar, dan E. Widosari. 2000. Profil keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan ARMP II Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Darminto dan S. Bahri. 1996. “Mad Cow” dan penyakit sejenis lainnya pada hewan dan manusia. Jurnal Penelitian dan Pengembang-an Pertanian 15(4): 84−88.


DOWNLOAD FILE LENGKAPNYA  -> KLIK DOWNLOAD <-

Mikroba Pada Bahan Pangan