Makalah Sistem Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah 2014 - OFO

Halaman

    Social Items




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Fiqh muamalah kerap menjadi pembahasan seiring cepatnya akselerasi diskursus ekonomi syariah atau ekonomi islam di tengah masyarakat. Isu yang selalu mengemuka yakni apakah fiqh muamalah, persoalan hukum, ataukah isu ekonomi. Dalam muamalah dibahas tentang berbagai macam teknis transaksi dalam hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi, maka muamalah sarat dengan masalah-masalah ekonomi.
Namun dari sisi lain dalam muamalah digariskan juga tentang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi tersebut dapat dianggap sah, sehingga muamalah sarat dengan masalah hukum (Yazid Afandi: 2009) Bank syariah di Indonesia mulai digagas di periode awal tahun 1980-an, berawal dengan pengujian di skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman di Bandung. Dan di Jakarta dalam bentuk koperasi, yaitu Koperasi Ridho Gusti (Antonio:1999). Bertitik tolak dari sini, MUI berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syariah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan dibahas lebih lanjut dengan membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Menurut mereka, produk yang ditawarkan bank syariah hanyalah produk-produk bank konvensional yang dipoles penerapan akad-akad yang berkaitan dengan syariah. Alasannya karena sistem bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula penyaluran dana bank syariah yang lebih besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan berdasarkan margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekadar polesan cara pengambilan bunga pada bank konvensional. Mereka juga masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga.

B. Rumusan Masalah 
Berdasarkan uraian latar belakang, makalah ini merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut: 
a.      Bagaimana sistem bagi hasil dalam perspektif hukum islam 
b.      Bagaimana sistem bagi hasil dan pendapat para ulama 
c.       Bagaimana menganalisa perbedaan bunga dan bagi hasil 



BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM BAGI HASIL DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM 
1. Pengertian Bagi hasil (profit Sharing) 
Profit dalam kamus ekonomi berarti pembagian laba. Secara definisi, profit sharing dapat diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu perusahaan (Muhammad: 2001). Syafi’i Antonio menguraikan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib). Prinsip bagi hasil secara umum dalam perbankan syariah terlaksana dalam empat akad utama, yakni: al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah. Walaupun demikian, prinsip yang kerap dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqolah digunakan khusus untuk atau pembiayaan pertanian (plantation financing) pada sejumlah Bank Islam (Antonio: 2011). 
Bagi hasil adalah keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan sejumlah persyaratan: 
1.    Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola : 1) Revenue Sharing, 2) Profit dan Loss Sharing.
2.    Pada saat akad terjadi, wajib disepakati sistem bagi hasil yang dipakai, apakah Revenue Sharing, Profit dan Loss Sharing atau Gross Profit. Kalau tidak disepakati maka akad tersebut menjadi gharar.
3.    Waktu pembagian bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, contohnya: setiap bulan atau waktu yang telah disepakati.
4.    Bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam akad.

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah menjadi ciri khusus yang ditawarkan bagi masyarakat, dan aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha haruslah ditentukan pada awal terjadinya akad. Besarnya porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan kerelaan (An-Tarodhin) oleh masing-masing pihak dan tidak ada unsur paksaan (Bakhrul: 2006)
2. Konsep Bagi Hasil 
Konsep bagi hasil sangat berbeda dengan konsep bunga yang diterapkan oleh sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dijabarkan sebagai berikut: 
1.       Pihak pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai pengelola dana.
2.       Pihak pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem pool of fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana tersebut dalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi semua aspek syariah.
3.       Kedua belah pihak membuat akad yang berisi ruang lingkup kerjasama, jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
4.       Sumber dana terdiri dari: 1. Simpanan (tabungan dan simpanan berjangka), 2. Modal (simpanan pokok, simpanan wajib, dana lain-lain), dan 3. Hutang pihak lain.

3. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil 
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah. 

1.       Musyarakah (Joint Venture Profit dan Loss Sharing); menurut Syafi’i Antonio, Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan akad. Manan menguraikan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen memasukkan modal dengan perbandingan yang berbeda serta menyetujui laba yang ditetapkan sebelumnya. Sistem ini juga berdasarkan prinsip mengurangi kemungkinan partisipasi yang menjurus pada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank sekaligus ataupun berangsur-angsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.
2.       Mudharabah (Trustee Profit Sharing); Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah dengan pengertian yang sama. Mudharabah juga termasuk perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian (Sumitro: 2004). Selain itu, mudharabah juga berarti pernyataan yang berarti bahwa seseorang memberi modal usaha kepada orang lain dengan tujuan modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedangkan kerugian akan ditanggung oleh pihak pemilik modal.

Oleh karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan yaitu: 
1.       Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha). Pada akad mudharabah, harus minimal ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Pemodal dan pengelola syaratnya harus mampu melakukan transaksi dan secara hukum sah.
2.       Objek mudharabah (modal dan kerja). Ini merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang, sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill dan sebagainya.
3.       Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). Adanya persetujuan dari kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum atau sama-sama rela (Q.S. An-Nisa:29). Kedua belah pihak harus rela bersepakat mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana dan Pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan qabul dari yang menjalankannya.
4.       Nisbah Keuntungan. Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah perselisihan kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
5.       Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
6.       a) Tabungan Mudharabah. Merupakan simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
7.       b) Deposito Mudharabah. Merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.
8.      c) Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Adalah sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati (http//www.ifibank.go.id) 


B. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT PARA ULAMA 
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu : 
1.       Pendekatan profit sharing (bagi laba) ; Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
2.       Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan); Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Syafi'i Antonio bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan sehingga tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat ulama Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang menjelaskan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya. Hambali menegaskan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.

C. ANALISIS BAGI HASIL DAN BUNGA BANK 
Dalam menganalisa bagi hasil bank syariah, perlu dipahami bahwa prinsip utama yang harus dikembangkan oleh bank syariah dalam hubungannya dengan manajemen dana yakni Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah dibanding bunga yang berlaku pada bank konvensional. Oleh karena itu, manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik guna mencapai hasil keuntungan yang besar, sehingga berimbah pada peningkatan tabungan nasabah. Disamping pengumpulan dana, yang perlu di analisis selanjutnya adalah mengenai perbedaan antara bagi hasil dengan bunga bank yang diterapkan pada perbankan konvensional. Perbedaan tersebut dapat pada tabel berikut: 

SISTEM BUNGA
SISTEM BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada saat akad dengan asumsi bahwa harus selalu untung.
Pcnentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada saat akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah memperoleh untung ataukah rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan Bila merugi, kerugian akan ditanggung bersama.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat atau dalam keadaan ekonomi sedang “booming”.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuaipeningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama termasuk Islam.
Tidak ada pihak atau agama yang meragukan keabsahan bagi hasil




BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib). Pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, menggunakan dua macam kontrak kerjasama yaitu akad Musyarakah dan Mudharabah. Dimana musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian. 
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu : 
b.      Pendekatan profit sharing (bagi laba) 
c.       Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan). 

DAFTAR PUSTAKA

Ach. Bakhrul Muchtasib. Konsep Bagi hasil Dalam Perbankan Syariah. 2006. 

Akmal Yahya, Profit Distribution, hal. http//www.ifibank.go.id
Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga, 1994.

M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet. ke-I.

M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta:Logung Pustaka,2009)

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta:Gema Insani, 2011)

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002)

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi hasil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII Press, 2001)

Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011)

Rachmat Syafei, MA. Fiqh Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia,2001)
Tim Pengembangan Perbankan Syariah, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001)

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait..(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004)

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta, PT. Grasindo, 2005)






Selengkapnya klik : DOWNLOAD

Makalah Sistem Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah 2014




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Fiqh muamalah kerap menjadi pembahasan seiring cepatnya akselerasi diskursus ekonomi syariah atau ekonomi islam di tengah masyarakat. Isu yang selalu mengemuka yakni apakah fiqh muamalah, persoalan hukum, ataukah isu ekonomi. Dalam muamalah dibahas tentang berbagai macam teknis transaksi dalam hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi, maka muamalah sarat dengan masalah-masalah ekonomi.
Namun dari sisi lain dalam muamalah digariskan juga tentang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi tersebut dapat dianggap sah, sehingga muamalah sarat dengan masalah hukum (Yazid Afandi: 2009) Bank syariah di Indonesia mulai digagas di periode awal tahun 1980-an, berawal dengan pengujian di skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman di Bandung. Dan di Jakarta dalam bentuk koperasi, yaitu Koperasi Ridho Gusti (Antonio:1999). Bertitik tolak dari sini, MUI berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syariah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan dibahas lebih lanjut dengan membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Menurut mereka, produk yang ditawarkan bank syariah hanyalah produk-produk bank konvensional yang dipoles penerapan akad-akad yang berkaitan dengan syariah. Alasannya karena sistem bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula penyaluran dana bank syariah yang lebih besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan berdasarkan margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekadar polesan cara pengambilan bunga pada bank konvensional. Mereka juga masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga.

B. Rumusan Masalah 
Berdasarkan uraian latar belakang, makalah ini merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut: 
a.      Bagaimana sistem bagi hasil dalam perspektif hukum islam 
b.      Bagaimana sistem bagi hasil dan pendapat para ulama 
c.       Bagaimana menganalisa perbedaan bunga dan bagi hasil 



BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM BAGI HASIL DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM 
1. Pengertian Bagi hasil (profit Sharing) 
Profit dalam kamus ekonomi berarti pembagian laba. Secara definisi, profit sharing dapat diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu perusahaan (Muhammad: 2001). Syafi’i Antonio menguraikan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib). Prinsip bagi hasil secara umum dalam perbankan syariah terlaksana dalam empat akad utama, yakni: al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah. Walaupun demikian, prinsip yang kerap dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqolah digunakan khusus untuk atau pembiayaan pertanian (plantation financing) pada sejumlah Bank Islam (Antonio: 2011). 
Bagi hasil adalah keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan sejumlah persyaratan: 
1.    Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola : 1) Revenue Sharing, 2) Profit dan Loss Sharing.
2.    Pada saat akad terjadi, wajib disepakati sistem bagi hasil yang dipakai, apakah Revenue Sharing, Profit dan Loss Sharing atau Gross Profit. Kalau tidak disepakati maka akad tersebut menjadi gharar.
3.    Waktu pembagian bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, contohnya: setiap bulan atau waktu yang telah disepakati.
4.    Bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam akad.

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah menjadi ciri khusus yang ditawarkan bagi masyarakat, dan aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha haruslah ditentukan pada awal terjadinya akad. Besarnya porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan kerelaan (An-Tarodhin) oleh masing-masing pihak dan tidak ada unsur paksaan (Bakhrul: 2006)
2. Konsep Bagi Hasil 
Konsep bagi hasil sangat berbeda dengan konsep bunga yang diterapkan oleh sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dijabarkan sebagai berikut: 
1.       Pihak pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai pengelola dana.
2.       Pihak pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem pool of fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana tersebut dalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi semua aspek syariah.
3.       Kedua belah pihak membuat akad yang berisi ruang lingkup kerjasama, jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
4.       Sumber dana terdiri dari: 1. Simpanan (tabungan dan simpanan berjangka), 2. Modal (simpanan pokok, simpanan wajib, dana lain-lain), dan 3. Hutang pihak lain.

3. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil 
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah. 

1.       Musyarakah (Joint Venture Profit dan Loss Sharing); menurut Syafi’i Antonio, Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan akad. Manan menguraikan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen memasukkan modal dengan perbandingan yang berbeda serta menyetujui laba yang ditetapkan sebelumnya. Sistem ini juga berdasarkan prinsip mengurangi kemungkinan partisipasi yang menjurus pada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank sekaligus ataupun berangsur-angsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.
2.       Mudharabah (Trustee Profit Sharing); Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah dengan pengertian yang sama. Mudharabah juga termasuk perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian (Sumitro: 2004). Selain itu, mudharabah juga berarti pernyataan yang berarti bahwa seseorang memberi modal usaha kepada orang lain dengan tujuan modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedangkan kerugian akan ditanggung oleh pihak pemilik modal.

Oleh karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan yaitu: 
1.       Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha). Pada akad mudharabah, harus minimal ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Pemodal dan pengelola syaratnya harus mampu melakukan transaksi dan secara hukum sah.
2.       Objek mudharabah (modal dan kerja). Ini merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang, sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill dan sebagainya.
3.       Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). Adanya persetujuan dari kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum atau sama-sama rela (Q.S. An-Nisa:29). Kedua belah pihak harus rela bersepakat mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana dan Pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan qabul dari yang menjalankannya.
4.       Nisbah Keuntungan. Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah perselisihan kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
5.       Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
6.       a) Tabungan Mudharabah. Merupakan simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
7.       b) Deposito Mudharabah. Merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.
8.      c) Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Adalah sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati (http//www.ifibank.go.id) 


B. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT PARA ULAMA 
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu : 
1.       Pendekatan profit sharing (bagi laba) ; Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
2.       Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan); Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Syafi'i Antonio bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan sehingga tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat ulama Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang menjelaskan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya. Hambali menegaskan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.

C. ANALISIS BAGI HASIL DAN BUNGA BANK 
Dalam menganalisa bagi hasil bank syariah, perlu dipahami bahwa prinsip utama yang harus dikembangkan oleh bank syariah dalam hubungannya dengan manajemen dana yakni Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah dibanding bunga yang berlaku pada bank konvensional. Oleh karena itu, manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik guna mencapai hasil keuntungan yang besar, sehingga berimbah pada peningkatan tabungan nasabah. Disamping pengumpulan dana, yang perlu di analisis selanjutnya adalah mengenai perbedaan antara bagi hasil dengan bunga bank yang diterapkan pada perbankan konvensional. Perbedaan tersebut dapat pada tabel berikut: 

SISTEM BUNGA
SISTEM BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada saat akad dengan asumsi bahwa harus selalu untung.
Pcnentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada saat akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi.
Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah memperoleh untung ataukah rugi.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan Bila merugi, kerugian akan ditanggung bersama.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat atau dalam keadaan ekonomi sedang “booming”.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuaipeningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama termasuk Islam.
Tidak ada pihak atau agama yang meragukan keabsahan bagi hasil




BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib). Pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, menggunakan dua macam kontrak kerjasama yaitu akad Musyarakah dan Mudharabah. Dimana musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian. 
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu : 
b.      Pendekatan profit sharing (bagi laba) 
c.       Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan). 

DAFTAR PUSTAKA

Ach. Bakhrul Muchtasib. Konsep Bagi hasil Dalam Perbankan Syariah. 2006. 

Akmal Yahya, Profit Distribution, hal. http//www.ifibank.go.id
Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga, 1994.

M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet. ke-I.

M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta:Logung Pustaka,2009)

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta:Gema Insani, 2011)

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002)

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi hasil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII Press, 2001)

Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011)

Rachmat Syafei, MA. Fiqh Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia,2001)
Tim Pengembangan Perbankan Syariah, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001)

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait..(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004)

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta, PT. Grasindo, 2005)






Selengkapnya klik : DOWNLOAD