BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
HUKUM FORMIL PERADILAN AGAMA
Hukum Formil/Hukum Prosedural/Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Adapun sumber hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
· Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.
· Inlandsh Reglement (IR)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.
· Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
· Bugerlijke Wetbook voon Indonesie (BW)
BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.
· Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.
Peraturan Perundang-undangan
1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia.
3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.
4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang perkawinan tersebut.
6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf
· Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama. Hakim tidak terikat pada putusan yuris prudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.
· Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap persoalan hukum yang dihadapi hakim. Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.
· Dokrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUMBER- SUMBER HUKUM FORMIL
Sumber-sumber hukum dibagi menjadi 2 jenis yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal.
Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang ditinjau dari segi bentuknya, sumber hukum ini sudah memiliki bentuk tertentu sehingga kita dapat menemukan dan mengenal suatu bentuk hukum dan menjadi faktor yang memberlakukan dan mempengaruhi kaidah atau aturan hukum.
Sumber hukum formal ini biasanya digunakan oleh para hakim, jaksa dan penasehat hukum sebagai dasar atau pertimbangan untuk membuat putusan, rumusan tuntutan dan atau sebagai nasehat hukum kepada kliennya. Sumber-sumber hukum formil dalam tata negara dikenal dengan istilah kenbron.
Sumber-sumber hukum formal secara umum dapat dibedakan menjadi :
1. Undang-Undang “Statute”:
Undang-undang dalam hukum Indonesia lebih dikenal dengan singkatan UU. Undang-undang di Indonesia menjadi dasar hukum negara Indonesia. Undang-undang di Indonesia berfungsi sebagai pedoman yang mengatur kehidupan bersama seluruh rakyat Indonesia dalam rangka meujudkan tujuan hidup bernegara.
2. Kebiasaan atau “custom”:
Kebiasaan juga dapat menjadi salah satu sumber-sumber hukum karena kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang. Perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang tersebut pada gilirannya dapat diterima sebagai kebiasaan tertentu sehingga apabila terdapat perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan tersebut dapat dianggap pelanggaran hukum dan dikenakan sanksi.
3. Keputusan Hakim atau “Jurisprudentie”:
Sumber-sumber-hukumKeputusan hakim atau yurisprudensi juga dapat menjadi salah satu dari sumber-sumber hukum oleh karena dalam sistem negara hukum kita keputusan hakim dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim yang lain dalam memutuskan kasus yang sama.
4. Traktat atau “Treaty”:
Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara atau antar negara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Traktat tersebut dapat menjadi sumber bagi pembentukan peraturan hukum.
5. Pendapat Sarjana Hukum atau “Doktrin”:
Yang dimaksud dengan pendapat sarjana hukum disini adalah pendapat seseorang atau beberapa orang ahli hukum terhadap suatu masalah tertentu. Hal ini didukung Piagam Mahkamah Internasional dalam pasal 38 ayat 1, yang menyebutkan bahwa
“Dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman antara lain :
· Perjanjian-perjanjian internasional atau International conventions
· Kebiasaan-kebiasaan internasional atau international customs
· Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab atau the general principles of law recognized by civilsed nations
· Keputusan hakim atau judicial decisions dan pendapat-pendapat sarjana hukum”
6. PP (Peraturan Pemerintah):
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang.
7. Kepres dan Inpres:
Keputusan Presiden (Kepres) dibuat dan dikeluarkan oleh Presiden yang memuat tentang hal-hal yang khusus (einmalig) dalam hal pemerintahan
8. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri:
Peraturan Menteri dikeluarkan oleh Menteri berisi tentang ketentuan-ketentuan di bidang tugasnya sedangkan Keputusan Menteri (Kepmen) bersifat khusus memuat tentang hal-hal tertentu sesuai dengan bidang tugasnya.
9. Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah:
Peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah dan bersifat umum, yang mana harus memenuhi syarat negatif, yaitu ;
· tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, perundang-undangan yang lebih tinggi
· tidak boleh mengatur suatu hak yang telah diatur dalam perundang-undangan dan peraturan daerah yang lebih tinggi
Demikian macam-macam sumber hukum secara formal yang berlaku di indonesia.
1. Arti dari sumber hukum dan formal
a. Sumber Hukum dalam arti material,
yaitu: suatu keyakinan/ perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian keyakinan/ perasaan hukum individu (selaku anggota masyarakat) dan juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.
b. Sedangkan sumber hukum dalam arti Formal,
yaitu: bentuk atau kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku. Jadi karena bentuknya itulah yang menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati.
Adapun yang termasuk sumber hukum dalam arti formal adalah :
1) Undang-undang
2) Kebiasaan atau hukum tak tertulis
3) Yurisprudens
4) Trakta
5) Doktrin
1) Undang-undang
Dilihat dari bentuknya, hukum dibedakan menjadi:
a) Hukum tertulis
b) Hukum tidak tertulis
Undang-undang merupakan salah satu contoh dari hukum tertulis. Jadi, Undang-undang adalah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang untuk itu dan mengikat masyarakat umum.
Dari definisi undang-undang tersebut, terdapat 2 (dua) macam pengertian:
a. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu: setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum. Misalnya: Ketetapan MPR, Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), Keputusan Presiden (KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), dll
b. Undang-undang dalam arti formal, yaitu: setiap peraturan negara yang karena bentuknya disebut Undang-undang atau dengan kata lain setiap keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya. Di Indonesia, Undang-undang dalam arti formal dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR(lihat pasal 5 ayat 1 UUD 45).
Perbedaan dari kedua macam Undang-undang tersebut terletak pada sudut peninjauannya. Undang-undang dalam arti materiil ditinjau dari sudut isinya yang mengikat umum, sedangkan undang-undang dalam arti formal ditinjau segi pembuatan dan bentuknya.
Oleh karena itu untuk memudahkan dalam membedakan kedua macam pengertian undang-undang tersebut, maka undang-undang dalam arti materiil biasanya digunakan istilah peraturan, sedangkan undang-undang dalam arti formal disebut dengan undangundang.
2) Kebiasaan atau Hukum tak tertulis
Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan memiliki kekuatan yangberlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
· Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
· Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.
3) Yurispudensi
adalah: keputusan hakim terdahulu yang kemudian diikuti dan dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan suatu perkara yang sama.
4) Traktat
Adalah: perjanjian yang dilakukan oleh kedua negara atau lebih. Perjanjian yang dilakukan oleh 2 (dua) negara disebut Traktat Bilateral, sedangkan Perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) negara disebut Traktat Multilateral. Selain itujuga ada yang disebut sebagai Traktat Kolektif yaitu perjanjian antara beberapa negara dan kemudian terbuka bagi negara-negara lainnya untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.
5) Doktrin Hukum
Adalah: pendapat para ahli atau sarjana hukum ternama/ terkemuka. Dalam Yurispudensi dapat dilihat bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat seorang atau beberapa sarjana hukum yang terkenal namanya. Pendapat para sarjana hukum itu menjadi dasar keputusan-keputusan yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
B. RUANG LINGKUP HUKUM FORMIL
1. Hukum Perdata Dalam Arti Luas
Hukum Perdata dalam arti luas pada hakekatnya meliputi semua hukum privat meteriil, yaitu segala hukum pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang diatur dalam sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya, seperti mengenai koperasi, perniagaan, kepailitan, dll.
2. Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum Perdata dalam arti sempit, adakalanya diartikan sebagai lawan dari hukum dagang. Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat di dalam KUHPerdata.
Jadi hukum perdata tertulis sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata merupakan Hukum Perdata dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti luas termasuk di dalamnya Hukum Perdata yang terdapat dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang terdapat dalam KUHD.
Hukum Perdata juga meliputi Hukum Acara Perdata, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara seseorang mendapatkan keadilan di muka hakim berdasarkan Hukum Perdata, mengatur mengenai bagaimana aturan menjalankan gugutan terhadap seseorang, kekuasaan pengadilan mana yang berwenang untuk menjalankan gugatan dan lain sebagainya.
Hukum Perdata juga terdapat di dalam Undang-Undang Hak Cipta, UU Tentang Merk dan Paten, keseluruhannya termasuk dalam Hukum Perdata dalam arti luas.
1. Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil
- Hukum Perdata Materiil
Hukum Perdata Materiil adalah segala ketentuan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam hubungannya terhadap orang lain dalam masyarakat.
Hukum Perdata materiil ialah aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban perdata seseorang. Dengan kata lain bahwa Hukum Perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subyek hukum, yang pengaturannya terdapat di dalam KUHPerdata, KUHD dsb.
- Hukum Perdata Formil:
Hukum Perdata Formil adalah segala ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara seseorang mendapatkan hak/keadilan berdasarkan Hukum Perdata materiil. Cara untuk mendapatkan keadilan di muka hakim lazim disebut Hukum Acara Perdata.
Hukum Perdata Formil merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana tatacara seseorang menuntut haknya apabila dirugikan oleh orang lain, mengatur menurut cara mana pemenuhan hak materiil dapat dijamin.
Hukum Perdata Formil bermaksud mempertahankan hukum perdata materiil, karena Hukum Perdata formil berfungsi menerapkan Hukum Perdata materiil.
Hukum Perdata formil, misalnya Hukum Acara Perdata, terdapat dalam Reglement Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B).
2. Sejarah dan Sistematika KUH Perdata
Sejarah Perkembangan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek):
Pembentukan Hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pembentukannya di Negeri Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) Belanda diberlakukan di Indonesia berdasarkan ASAS KONKORDANSI (CONCORDANTIE BEGINSEL).
KUHPerdata Belanda berasal dari Code Civil Prancis. Code Civil Perancis mulai berlaku pada tanggal 21 Maret 1804. kemudian karena Perancis menjajah Belanda maka Code Civil tersebut berlaku di Negeri Belanda. Kemudian setalah Negeri Belanda terbebas dari jajahan Perancis diadakan perubahan dan penambahan sesuai dengan keadaan Belanda. Pada tanggal 10 April 1838 dengan Koninklijk Besluit S. 1838 : 12, kodifikasi Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) dinyatakan berlaku dan diberlakukan di Negeri Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838.
Di Indonesia berdasarkan pasal 131. I.S. (Indische Regeling) disusun Politik Hukum Pemerintah Hindia Belanda dan berdasarkan S. 1847 No. 23 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) melalui pengumuman Gubernur Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan bahwa sejak tanggal 1 Mei 1848 KUHPerdata dan KUHD diberlakukan di Hindia Belanda meskipun hanya berlaku bagi golongan-golongan penduduk tertentu saja yaitu Golongan Eropa dan Timur Asing.
Sistematika Hukum Perdata Menurut Ilmu Hukum (Doktrin):
a. Hukum Perorangan/Hukum Pribadi:
Merupakan keseluruhan ketentuan norma hukum mengenai subyek hukum atau orang pribadi.
- Hukum Perorangan mengatur orang sebagai subyek hukum, siapa yang merupakan subyek hukum, kecakapan untuk bertindak dalam lalu lintas hukum, catatan sipil, ketidak hadiran, nama dan tempat tinggal orang/pribadi (subyek hukum) dll
- Hukum Perorangan memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
b. Hukum Keluarga (Familie Recht):
Hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan serta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antar orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan dsb.
Hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang, dan pada prinsipnya merupakan hubungan hukum yang sifatnya kekal (abadi).
Dalam KUHPerdata, hukum keluarga tersebut diatur dalam Buku I, yang berjudul tentang orang.
c. Hukum Kekayaan (Vermogen Recht):
Hukum yang mengatur hubungan antara orang dengan harta kekayaan mereka atau mengatur mengenai hubungan hukum yang merupakan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang, yang dimaksudkan adalah segala hak dan kewajiban orang itu, yang dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang sifatnya demikian, lazimnya dapat dipindahtangankan kepada orang lain.
Hukum kekayaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
Hukum Kekayaan yang sifatnya Absolut (mutlak); Hukum kekayaan yang sifatnya absolut menggambarkan hubungan antara orang dengan benda dan merupakan hak kebendaan yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang bermaksud mengganggu gak kebendaan tersebut. Misalnya : Hak Milik.
Hukum Kekayaan yang sifatnya Relatif; Hukum kekayaan yang sifatnya relatif, lahir dari perjanjian yang sifatnya relatif, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu saja, yakni orang yang terikat di dalam perjanjian itu saja. Hukum kekayaan yang bersifat relatif ini lazim disebut Hak Perorangan, yakni hak yang lahir dari perjanjian yang mengatur hak-hak atau prestasi. Misalnya hak seorang penjual atas harga penjualan.
d. Hukum Waris (Erf Recht):
Mengatur mengenai harta benda seseorang setelah ia meninggal dunia. Mengatur mengenai beralihnya hak dan kewajiban pewaris di bidang kekayaan (hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang) kepada ahli warisnya.
Dengan demikian sebenarnya hukum waris merupakan bagian dari hukum harta benda. Namun demikian hukum waris juga erat kaitannya dengan hukum keluarga, oleh karena untuk mewaris ialah mereka yang mempunyai hubungan darah (keluarga) dengan pewaris. Hukum waris juga erat kaitannya dengan hukum kekayaan yang sifatnya relatif, yang lahir dari perjanjian, sehingga berdasarkan hal tersebut maka dalam ilmu hukum terdapat kecenderungan pendapat yang berpendirian bahwa sebaiknya hukum waris diatur tersendiri.
Dalam KUHPerdata, Hukum waris diatur dalam Buku II, yang berjudul tentang Kebendaan.
Sistematika Hukum Perdata Dalam KUH Perdata:
a) Buku I Tentang Orang (van Personen)
b) Buku II Tentang Benda (van Zaken)
c) Buku III Tentang Perikatan (van Verbintenissen)
d) Buku IV Tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van Bewijs en Verjaring)
Pendapat Ilmu Hukum Tentang Sistimatika Hukum Perdata:
Buku I KUHPerdata, pada dasarnya tidak sesuai dengan materi yang diatur didalamnya karena didalamnya tidak hanya mengatur mengenai orang sebagai subyek hukum, melainkan juga mengatur mengenai hukum kekeluargaan.
Judul buku II KUHPerdata tentang kebendaan, tidak sesuai dengan materi yang diatur di dalamnya, karena di dalam buku II tidak hanya mengatur mengenai benda dan hak-hak kebendaan tapi juga mengatur mengenai hukum waris.
Alasan pembentuk UU, menempatkan hukum Waris dalam Buku II tentang Benda, karena Pewarisan juga merupakan salah satu cara memperoleh hak kebendaan.
Tidaklah tepat mengatur Hukum Pembuktian dalam Buku IV karena hukum Pembuktian merupakan hukum acara (hukum formil), sedangkan tujuan menyusun KUHPerdata adalah untuk menghimpun Hukum Perdata materiil, dengan demikian sebaiknya hukum pembuktian dikeluarkan dari sistimatika KUHPerdata.
C. TAFSIRAN TERHADAP HUKUM FORMIL
Hakekatnya hukum adalah aturan yang teratur dan membentuk keteraturan yang tertib, sesuai sifatnya yang mengikat dan memaksa dengan sanksinya. Hukum dan keteraturan adalah dua unsur yang berbeda dalam pemaknaannya, yaitu Hukum sebagai kaidah atau aturan ( Hukum Materil ), dan keteraturan adalah penyusunanan tata aturan yang tertib dan sesuai dengan urutannya menurut sumbernya ( Hukum Formil ).
Untuk mengenal keteraturan hukum yang tertib, maka perlu pengkajian dan pemaknaan tepat guna terhadap nilai-nilai filosofis yang terkandung didalam pancasila dan pembukaan Udang-Undang dasar 1945 (ius contituendum) dimanan yang demikian itu menjadi cikal bakal adanya suatu aturan hukum negara itu sendiri, sehingga pelaksanaan hukum (ius constitutum) dapat ditegakan. Paradigma seperti ini yang seharusnya dipakai sebagai fundementalisasi perancangan atau penyusunan aturan hukum (doessigns), agar dapat menciptakan suatu keteraturan hukum yang tertib dan teratur (doessolient) dalam mewujudkan hukum dan keteraturan (law and order), yang dapat menaruh respek tinggi terhadap masyarakat, dengan semakin tingginya respek itu, maka masyarakat akan terpacu untuk menaati Hukum.
Selama ini tata atauran hukum atau Hierarki Perturan Perundang Undangan di Negara ini tidak berkembang, sebab dalam perancangan dan penetapannya tidak mempertimbangkan hal-hal yang disebutkan di atas, akibatnya terjadinya krisis kemandirian bangsa untuk berdiri dengan kaki sendiri diatas dasar negara yaitu pancasila. Contohnya adalah terjadinya suatu dilematis terhadap sistem Hierarki Peraturan Perundang-Undangan nagara ini. Inilah suatu ciri kemunduran bangsa dalam menentukan tata aturan hukum yang sesuai dengan amanat pancasila dan pembukaan UUD 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum yang paling mendasar, hukum tertinggi yang mengandung nilai asas dan norma yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi, dan dilaksanakan dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau kebijakan hukum, baik oleh pemerintah, legislatif, dan badan-badan yudisial, serta rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan pelaksanaannya dalam bentuk politik hukum nasional, harus tetap dijaga dan dipertahankan semangat dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam dasar falsafah negara Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan seluruh batang tubuhnya sebagai landasan falsafah dan konstitusional negara.
1. Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum terhadap masalah yang dimaksud diatas adalah permasalahan konstitusional yang tidak berlandaskan nilai dan prinsip dasar negara. Mengingat jika suatu negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber ligelitas konstitusinya adalah rakyat constituent power, dalam permasalah ini pancasilah adalah jawabanya.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului orang pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi, pengertianconstituent power berkitan pula dengan pengertian hierarki hukum(hierarchy of law). Konstitusi adalah hukum yang lebih tinggi bahkan lebih tinggi serta paling fundemental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatnya berada dibawah Undan-undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Reformasi konstitusi telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Hukum dimaknai sebagai kesatuan Asas, norma, lembaga dan proses. Dalam sistem hukum nasional hierarkis tatanan norma berpuncak pada konstitusi. Artinya, dalam sebuah negara hukum harus dipegang teguh prinsip supremasi konstitusi. Konstitusi harus diimplementasikan secara konsisten dalam peraturan perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat secara luas.
Komitmen penting yang telah disepakati dalam proses Perubahan UUD 1945 meliputi lima prinsip yaitu: (1) sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertiansekaligus menyempurnakan agar betul‑betul memenuhi ciri‑ciri umum sistem presidensiil); (4) sepakat untuk memindahkan hal‑hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal‑pasal UUD 1945; dan (5) sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 adalah sumber dari keseluruhan politik hukum nasional.
D. PENERAPAN HOKUM FORMIL
Secara umum terlihat ada 2 sumber hukum, yaitu sumber hukum dalam arti materiil dan formilsebagai berikut :
1. Sumber hukum materiil.
Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang. Sumber hukum materiil berasal dari perasaan hukum masyarakat, pendapat umum, kondisi sosial-ekonomi, sejarah, sosiologi, hasil penelitian ilmiah, filsafat, tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).
Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil untuk membantu pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
· Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.
· Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain.Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:
a. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan perusahaan dan pembagian kerja.
b. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
c. Hukum yang berlaku.
d. Tata hukum negara-negara lain.
e. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
f. Kesadaran hukum.
2. Sumber hukum dalam arti formil.
Sumber hukum formil adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasarberlakunya hukum secara formil. Jadi sumber hukum formil merupakan dasar kekuatanmengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum.Sumber hukum yang bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara pembentukannya, terdiri dari:
Apa beda antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan ? Undang-undang dibuat oleh DPR persetujuan presiden, sedangkan peraturan perundang-undangan dibuat berdasarkan wewenang masing-masing pembuatnya, seperti PP, dan lain-lain atau Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 ayat 2 UU No. 10 tahun 2004).
Sumber hukum dalam arti formil, terdiri atas :
o Undang-undang (Statue).
o Kebiasaan (custom).
o Traktat (Perjanjian Internasional).
o Putusan Hakim (yurisprudensi).
o Doktrin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
· Sumber-sumber hukum dibagi menjadi 2 jenis yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal.
· Sumber hukum formal merupakan sumber hukum yang ditinjau dari segi bentuknya, sumber hukum ini sudah memiliki bentuk tertentu sehingga kita dapat menemukan dan mengenal suatu bentuk hukum dan menjadi faktor yang memberlakukan dan mempengaruhi kaidah atau aturan hukum.
· Sumber hukum formal ini biasanya digunakan oleh para hakim, jaksa dan penasehat hukum sebagai dasar atau pertimbangan untuk membuat putusan, rumusan tuntutan dan atau sebagai nasehat hukum kepada kliennya. Sumber-sumber hukum formil dalam tata negara dikenal dengan istilah kenbron.
· Sumber Hukum dalam arti material, yaitu: suatu keyakinan/ perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian keyakinan/ perasaan hukum individu (selaku anggota masyarakat) dan juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.
· Sedangkan sumber hukum dalam arti Formal, yaitu: bentuk atau kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku. Jadi karena bentuknya itulah yang menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati.
· Hukum Perdata dalam arti luas pada hakekatnya meliputi semua hukum privat meteriil, yaitu segala hukum pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang diatur dalam sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya, seperti mengenai koperasi, perniagaan, kepailitan, dll.
· Hukum Perdata dalam arti sempit, adakalanya diartikan sebagai lawan dari hukum dagang. Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat di dalam KUHPerdata.
· Jadi hukum perdata tertulis sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata merupakan Hukum Perdata dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti luas termasuk di dalamnya Hukum Perdata yang terdapat dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang terdapat dalam KUHD.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1998
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006
Kompas, , 25 November 2014
Nasution, Hotnidah, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007
Nuruddin, Amiur dan A. Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: kencana, 2004
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 147
Hotnidah Nasution, Buku Daras Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), hal. 189
Amiur Nuruddin dan Azhari A. Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2004), hal. 26
Kompas, Kamis, 25 November 2014 [5] Basiq djalil, Op. cit. hal. 152-153
Hotnidah Nasution, Op. cit, hal 196-201