MAKALAH PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM (TERLENGKAP) - OFO

Halaman

    Social Items

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM DAN KEKUASAAN HAKIM (TERLENGKAP)

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
              Sebagai makhluk Sosial (Zoon Politicon) manusia dalam berinteraksi satu sama lain sering kali tidak dapat menghindari adanya bentrokan – bentrokan kepentingan (Conflict Of interest) diantara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dam kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik – konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan saran hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana ungkapan “ubi societas ibi ius” atau dimana ada masyrakat, mak disitu perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalm mempertahankan hak dan kewajibannya.Dalam rangka menegakan aturan – aturan hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia ini, diperlukan adanya suatu istitusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum)Guna terwujudnya keadilan i indonesia.

B.   Rumusan Masalah
Bagaimanakah Eksistensi atau tugas kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan?
              Meskipun dalam kenyataanta ada salah satu hukum atau kehakiman yang menyimpang dari aturan perundang-undangan itu adalah salah satu bentuk dari sebuah permasalahan yang sangat disayangkan oleh semua pihak yang terkait dalam masalah tersebut. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.          Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman
              Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan tang berlaku (Ius Constitutum). Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
              Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati dan menjunjug tinggi prinsip – prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya prinsip keadilan yang bebas yang tidak memihak. Tolak ukuran dapat dilihat sejauh mana kemandirian badan – badan peradilan dalam menjalankan tugas dan kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang – undangan (Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
              Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan – badan peradilan Negara. Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari keadilan. Sebagai istitusi yang dibutuhkan  masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan tahun, jauh mendahului usia pengadilan moderen.
              Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah satu sekian banyak fungsi yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon terhadap adanya kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam masyrakat akan selalu muncul persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan – persoalan yang tidak diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan produktifitas masyrakat. Suatu istitusi mesti dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.
              Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan undang – undang yang organik. Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas – asas, landasan, dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah Makamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :
       a.            Peradilan Umum
       b.           Peradilan Agama
       c.            Peradilan Militer
       d.           Peradilan Tata Usaha Negara
              Dalam menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata uasah negara.
              Mengenai kedudukan dan wewenang masing – masing lingkungan peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang – undangan, yakni :
       a.            UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa perubahanya dalam UU No. 5 tahun 2004
       b.           UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa perubahanya dalam UU No. 8 tahun 2004
       c.            UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan beberapa perubahannya dalam UU No. 9 tahun 2004
       d.           UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa perubahannya dalam UU No. 3 tahun 2006
       e.            UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
       f.            UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
       g.           UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
         Sasaran penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para penyelengara peradilan tersebut.
         Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting dalam melakukan kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak – pihak extra judicial lainya, sehinga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas – tugasnya di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh pihak – pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
         Salah seorang hakim merasa bahwa kasus – kasus kriminal tidak perlu menyita perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang – undang kriminal tersebut. Dan pengaruh tertentu yang mendorong para hakim itu untuk berusaha mengikuti “hukum.”[6] secara analitis, apa yang terjadi pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya adalah apakah hendak mengikuti “Hukum” atau tidak. Sikap – sikap, nilai, dan konteks sosial menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual. Bagaimanapun juga, bagi hakim ini akan berarti bahwa ia selalu “Terikat” oleh huku.
         Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam masyrakat, semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar pula perbedaan nilai – nilai dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat. Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk melindungi kepentingan golongan yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan nilai – nilai relatif lebih mudah untuk dicapai.
         Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehiga para hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan terutama “Judicial corruption” menjadi semakin sulit diberantas, jika tidak para “hakim Nakal” berlindung pada asas kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak pada tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya mencerminkan rasa keadialan rakyat Indonesia.

B.   Hakim dan penegakan keadilan 
              Hakim merupakan salah satu angota dari Catur Wangsa Penegak Hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok dibidang Juridisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadnya. Dengan tugas seperti itu, dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karen itu keberadaanya sangat penting dan diterima dalam menegakkan hukum dan keadilan melalaui putusan – putusanya.
              Para pencari keadilan (justiciablellen) tentu mendambakan perkara – perkara yang diajukan kepengadilan dapat diputus oleh hakim – hakim yang propesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehinga dapat melahirkan putusan – putusan tang tidak saja mengandung  legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justicedan social justice.
              Akan tetapi dalam parakteknya sering kali dijumpai para pencari keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang diangap tidak bersikap mandiri dan tidak profesional. Bayangkan intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atu bahkan memilih bersikap oprtunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Kondisi ini memeunculkan “Mafia Peradilan” yang menghalalkan segala cara seperti jual beli perkara, yang semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.
              Putusan – putusan yang bersifat terkadang kontroversial salah satu faktor penyebab adalah adanya korupsi peradilan (judicial corruption), yang lebih populer disebut dengan mafia peradilan, yaitu adanya kospirasi dan penyalahgunaan wewenag diantara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi sendiri.
              Memang tiadak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu, keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proposional sehinga pada giliranya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.
              Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dam memutuskan perkara, bebas dari campur tangan masyrakat, ekskutif, maupun legislatif. Dengan demikian kebebasan yang dimilikinya itu diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasrkan hukum yang berlaku dan juga berdasrkan keyakinannyayang seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat. Dengan demikian, hukum dan badan – badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penegak masyrakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.
              Antara unsur keadilan dengan kepastian hukum yang biasa saja saling bertentangan. Berikut ini dua kasus yang sangat relevan untuk mengambarkan adanya kemungkinan benturan antara aspek keadilan dan kepastian hukumyaitu dalam kasus “Kedung Ombo”, tentang sengketa ganti rugi pembebasaan tanah yang akan digunakan sebagai proyek waduk. Dan kasus “Sengketa Pilkada Depok”, tentang penghitungan suara yang terjadi adanya pengelembungan suara dari salah satu pihak partai politik.
              Paparan dua kasus diatas, baik kasus “Kedung Ombo” maupun “Sengketa Pilkada Depok” sangat relevan mengambarkan adanya benturan – benturan antara aspek kepastian hukum dengan keadilan. Dalam berbagai ajaran Doktrin ajaran hukum dari para ahli hukum dan ajaran islam sendiri nampaknya lebih ditekankan pada aspek keadilan dalam menjatuhkan putusan. Pendapat ahli hukum yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusuma  dalam bukunya “pememuan hukum sebuah pengantar” sebagai berikut:

“Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusa secara proposional. Akan tetapi didalam prakteknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur tersebut diatas secra proposional. Kalau dalam pilihan putusa sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan maka keadilanyalah yang harus didahulukan”. 

              Untuk itu dalam pangung penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiranya pada para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia diiastilahkan dengan “Ratu Adil” seperti yang di impikan palto dengan konsep “Raja yang berfilsafat” (Filisofher King) ribuan tahun yang silam.
              Makamah Agung dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tangal 1 Juni 1998 mengintruksikan agar para hakim menetapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasiklan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan  ethos  (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama),filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan nilai tata budaya yang berlaku dalam masyrakat), serta logos (dapat diterima akal sehat)demi terciptanya kemandirian para penyelengara kekuasaan kehakiman.
              Berbagai faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya sesungguhnya sangat kompleks. Namun demikian, pada prinsifnya faktor – faktor yang mempengaruhi tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor Internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri hakim sendiri. Jadi faktor internal berkaitan dengan kualitas SDM hakimnya, yang dapat bermula dari cara rekruitmennya yang tidak objektif, integritas kurang, tingkat pendidikan/ keahlian dalam kesejahteraah yang kurang memadai. Sedang faktor eksternal adalahfaktor yang datang dari luar diri hakim terutama berkaitan dengan sistem peradilan atau sistem penegakan hukumnya yang kurang mendukung kinerja hakim. Dalam hal ini dapat disebabkan karena masalah instrumen hukumnya (perundang – undanganya), ada intervensi dan tekanan dari pihak luar, tingkat kesadaran hukum, sarana dan prasarana, sistem birokrasi/pemerintahanya dan lain – lain. Dengan demikian kemandirian hakim berkorelasi positif dengan penegakan supremasi hukum itu sendiri.

C.   Tugas dan Kewajiban Hakim
              Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibanya sebagaimana telah diatur dalam perundang – undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
              Hakikatnya tugas pokok hakim adalah, menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat  dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili suatu perkara.
              Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normative telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :
·                  Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 ).
·                   Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras – kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biyaya ringan ( pasal 5 ayat 2 ).
·                   Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dijatuhkan dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).
·                   Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat – nasehat tentang soal--soal hokum kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25).
·                   Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai – nilai hokum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).
              Diasmping itu tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan dalam perundang – undangan, hakim juga mempunyai tugas – tugas secara kongret dalam memeriksa dan mengadli suatu perkara melalui tiga tindakan  secara bertahap, yaitu :
1.           Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konret. Hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah dijatuhkan para pihak dimuka persidangan. Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa konret itu bener – benar terjadi. Jadi mengkostatir berarti menetapkan peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau mengangap atau terbuktinya peristiwa tersebut. 
2.           Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan suatu hukumnya. Hakim nenilai peristiwa yang telah diangab benar – benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana seperti apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau undang – undangnya, agar aturan hukum atau perundang – undangan tersebut dapat diterapkan pada peristiwanya.. sebaliknya undang – undangnya juga  harus disesuaikan dengan peristiwanya  agar undang – undang tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya. 
3.           Mengkostituir (mengkostitusi) atau memeberikan kostitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Disini hakim mengambil keputusan dari adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor ( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu memperhatikan factor yang memberikan factor yang seharusnya diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ), kepastian hukumnya ( rechtssicherheit ), dan kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der Brught dan J.D.C Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang hakim dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :
              a.            Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau memeparkan kasus dalam sebuah ihtiar (Peta),artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus ( mensekematisasi).
              b.            Menrjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis (Mengkualifikasi, Pengkualifikasian).
              c.            Menyeleksi aturan – aturan hukum yang relevan.
              d.            Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan – aturan hukum itu.
              e.            Menerapkan aturan – aturan  hukum pada kasusnya.
              f.            Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen – argumen dan penyelesaian.
              g.            Merumuskan formulasi penyelesaiaan.
              Disamping itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak diperkenankan menunda – nunda persidangan tersebut. Pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg menyebutkan : “pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri karena jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat perlu”  Dalam praktik hakim terkadang terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para pihak atas kuasnya. Adapun beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya sidang antara lain :
1.        Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.
2.        Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3.        Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.
              Untuk mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang aktif  terutama dalam mengatasi hambatan dan tintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat (Speedy Administration Of Justice). Perlu ketegasaan hakim untuk menolak permohonaan penundaan persidangaan dari pihak, kalau berangaapan hal itu tidak perlu. Berlarut – latutnya atau tertunda – tundanya jalanya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is Justice Denied).

D.   Kekuasaan Kehakiman Adalah Kekuasaan Negara Yang Merdeka
Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
Bagir Manan juga berpendapat bahwa beberapa substansi kekuasan kehakiman yang merdeka, yaitu:
       (1)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
       (2)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.
       (3)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan tidak memihak.
       (4)                    Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.
       (5)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman.
       (6)                    Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.

              Efik Yusdiansyah berpendapat bahwa tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah:
       (1)                    Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara badan-badan penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu.
       (2)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerntah bertindak dengan kekerasan atau tidak semena-mena dan menindas.
       (3)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan ditegakkan.
       (4)                    Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau netral (imparsiality) dari hakim dalam memutus suatperkara.

Dari pengertian Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman dan pendapat di atas, politik hukum yang dapat dicatat adalah bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka. Berarti bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri, yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga atau pihak manapun. Intervensi yang dimaksud berasal dari legislatif maupun ekskutif.

E.      Kekuasaan Kehakiman Menegakkan Hukum Dan Keadilan
Kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Substansi menegakkan hukum dan keadilan, berarti bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama. Hukum bermakna peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konskuensi logis Indonesia sebagai Negara hukum. Semua tindakan warga Negara maupun penyelenggara Negara harus didasarkan atas hukum. Dengan demikian, setiap putusan hakim haruslah menegakkan hukum.
Berkaitan dengan menegakkan keadilan, tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.
Bismar Siregar mengatakan, “Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana?”
Dengan demikian, tampak bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun bilamana tidak dapat mengakomodasikan ketiganya, maka keadilanlah yang harus diutamakan.

F.       Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 Demi Terselenggaranya Negara Hukum Indonesia
Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi dasar falsafah Negara yang melahirkan cita hukum (rechtside) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar Negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD dan Pancasila yang dikandungnya menjadistaatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah-kaidah Negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia dari aslinya yang dilahirkan pada tahun 1945.[21]
            Mengingat Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Indonesia, maka seluruh kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan haruslah berdasarkan atas Pancasila, termasuk kekuasaan kehakiman.Pancasila haruslah menjiwai perilaku hakim dan putusan hukum yang diambilnya. Oleh karena itu, putusan pengadilan selalu diawali dengan ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
            UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a.                       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.                       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.                       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.                      Peraturan Pemerintah;
e.                       Peraturan Presiden;
f.                        Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.                       Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
              Oleh karena itu, menjadi logis bilamana Pancasila dan UUD 1945 menjadi dasar dalam melaksanakan peradilan. Hasil akhir yang merupakan tujuan dari kekuasaan kehakiman adalah demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud adalah bukan Negara hukum menurut Eropa Kontinental maupun Negara hukum menurut Anglo Saxon, tetapi Negara Hukum Pancasila.
              Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa elemen-elemen penting dari hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah:
(1)                    Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
(2)                    Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara.
(3)                    Penyelesaian sengketa secara musyawara dan peradilan sebagai sarana terakhir.
              Moh. Mahfud MD lebih menekankan pada bekerjanya konsepsi Negara hukum Pancasila. Konsepsi Negara Hukum Pancasila yang lebih menekankan pentingnya penegakan keadilan dari pada penegakan hukum dalam artinya yang formal semata. Di dalam konsepsi ini ditekankan bahwa dalam perjuangan menegakkan HAM ada juga kewajiban kewajiban, seperti tidak boleh sewenang-wenang, menghormati hak orang lain, memindahkan kepentingan umum, menjaga keselamatan bangsa, menjaga moral, dan tahanan nasional.

G.   Amandemen UUD 1945
              Amandemen UUD 1945 menjadi salah satu pertanda terjadinya sebuah perubahan ketatanegaraan Indonesia yang terjadi karena munculnya sebuah gerakan reformasi. Pada awalnya tidak semua kelompok masyarakat setuju dengan adanya amandemen UUD 1945, ada kelompok masyarakat yang setuju dan ada yang tidak setuju. Kelompok yang pro amandemen berpendapat bahwa sudah waktunya untuk merubah UUD 1945 karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan yang ada dan tidak mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis. 
              Sedangkan kelompok yang kontra berargumen bahwa  mengubah atau mengganti UUD 1945 berarti tidak memiliki rasa nasionalisme karena materi UUD 1945 merupakan hasil penilaian dan pemahaman para founding fathers yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik. Kelompok ini berpendirian bahwa spirit of nationalism jauh lebih penting daripada spirit of constitution itself. Disamping itu, kelompok yang kontra juga beralasan bahwa UUD 1945 tidak perlu disentuh, karena secara konseptual UUD 1945 sudah baik, yang tidak mampu adalah faktor manusianya . Akan tetapi yang terjadi adalah dorongan untuk mengamandemen UUD 1945 jauh lebih kuat sehingga kondisi inipun direspon oleh MPR dalam sidang tahunan 1999. 
Jauh sebelum masa reformasi, sesungguhnya sudah ada gagasan untuk mengamandemen UUD 1945 sebagaimana dikemukakan Harun Alrasyid dalam Harian Merdeka yang terbit pada tanggal 18 Maret 1972. Pada saat itu, Harun Alrasyid menekankan perlunya reformasi konstitusi karena dianggap kurang sempurna dan terlalu summier, terlalu banyak masalah yang diserahkan kepada pembuat peraturan yang lebih rendah serta tidak menjamin secara tegas hak asasi manusia . 
              Pada perkembangannya muncul pula pendapat yang senada dikemukakan pula oleh Mahfud MD yang berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai beberapa kelemahan yang menyebabkan pengelolaan negara tidak dapat berjalan secara demokratis. Beberapa kelemahan itu diantaranya  UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada Presiden tanpa adanya mekanisme checks and balances yang memadai,  UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan beberapa macam tafsir tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden,  serta lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya sendiri .
Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan yang merupakan kelompok yang berada dalam Tim Nasional Menuju Masyarakat Madani juga melihat  adanya lima kelemahan UUD 1945 yang menjadi penyebab ketidakberhasilan sebagai penjaga dan dasar pelaksana prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,
(1)          Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang, disamping hak-hak konstitusional khusus (hak prerogratif) Presiden sebagai Kepala Negara;
(2)          UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) yang akibatnya kekuasaan Presiden semakin besar dan menguat, karena tidak cukup mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan yang lain;
(3)          UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan atas konstitusi, seperti pengkaidahan dalam pasal 1 ayat
                 Perbedaan yang cukup signifikan dalam konsep Negara hukum “rechtstaat” dan “The rule of law” terletak pada adanya peradilan administrasi. Dalam konsep rechtstaat peradilan administrasi merupakan sarana yang sangat penting dalam rangka membatasi kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Sedangkan dalam Negara hukum the rule of law peradilan administrasi tidak diterapkan. Ciri yang menonjol dalam Negara hukum ini terletak pada ditegakkannya hukum secara adil dan tepat (just law) dan semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Oleh karenanya ordinary court dianggap cukup untuk mengadili perkara-perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran hukum termasuk pelaggaran hukum yang dilakukan pemerintah . 
              Berbicara tentang ciri Negara hukum, dalam pandangan Jimly Ashiddiqie terdapat 13 prinsip pokok dalam negara hukum di era modern ini yaitu supremasi hukum,  persamaan dalam hukum,  asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha, peradilan tata negara, perlindungan HAM, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara, transparansi dan kontrol sosial, serta berke-Tuhanan Yang Maha Esa .
Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945
              Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan syarat yang harus ada pada Negara yang mendeklarasikan bahwa dirinya merupakan Negara hukum. Pernyataan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan salah satu hasil amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 24 yang setelah diamandemen selengkapnya berbunyi:
(1)          “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 
(2)          Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3)          Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
              Sebelum diamandemen Pasal 24 ini berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang”. Pasal ini merupakan landasan bagi independensi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Merdeka dalam arti bahwa mahkamah agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat 2 dalam menjalankan fungsinya terlepas dari pengaruh pemegang kekuasaan yang lain dan mandiri dalam arti berkuasa untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari pembagian kekuasaan Negara yang tertuang dalam UUD 1945. 
              Dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman UUD 1945 khususnya Bab IX menyebutkan bahwa ada tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
              Untuk menjalankan fungsinya ini Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan kehakiman dibantu oleh badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha Negara. Dengan demikian pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
              Dalam pandangan Baqir Manan ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini ;
(1)          Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara badan-badan penyelenggara Negara, kekuasaan kehakiman diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;
(2)          Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintahan bertindak sewenang-wenang dan menindas;
(3)          Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.  
              Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana pernyataan Baqir Manan diatas bukan hanya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan individu, membatasi tindakan pemerintah agar tidak melampaui undang-undang dan menciptakan kebebasan dan kemandirian penyeleggara kekuasaan kehakiman semata, akan tetapi hal itu juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan UUD yang lain, yang menjamin kebebasan individu, dan pencegahan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dengan mendasarkan pada Negara hukum . Dengan demikian pelaksanaan kebebasan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan sistem yang terkandung dalam UUD 1945 dan juga sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh dunia internasional melalui The Universal Declaration of Human Rights.
Berangkat dari hal ini A. Mukti Arto berkesimpulan bahwa Kekuasaan kehakiman yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah untuk merumuskan, mempertahankan, menegakkan dan mewujudkan rechtsidee Pancasila dan kaidah-kaidah konstitusi ke dalam kehidupan konkrit dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui penyelenggaraan kekuasaan kehakiman demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945 .  
              Untuk menjabarkan dan menjalan ketentuan UUD ini pada tahun 1970 diundangkan UU. No. 10 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman yang mengatur dan memberikan pedoman bagi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pasal 1 undang-undang ini menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Meskipun pada ketentuan Pasal 1 ini menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan, dalam prakteknya indpendensi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Pada masa ini independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi dua hal; independensi normatif dan independensi empiris yang dalam prakteknya dapat muncul beberapa bentuk independensi, pertama; secara normatif independen dan realitanya independen. Tidak ada perbedaan antara peratuan perundang-undangan dengan realitanya. Hal ini merupakan cita-cita negara hukum, kedua, Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak independen. Kondisi terjadi pada saat berlakunya UU No. 19 tahun 1964 yang dalam Pasal 19 undang-undang ini disebutkan bahwa Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang tersebut dapat berjalan, dan ketiga, Secara normatif independen akan tetapi realitanya tidak independen. Kondisi seperti ini terjadi pada masa orde baru dengan alasan bahwa dalam peraturan perundang-undangan terutama UU. No. 10 tahun 1970 menyatakan kekuasaan kehakiman merdeka namun pada kenyataannya hakim menjadi salah satu pendukung kekuasaan rezim yang memimpin dengan berbagai macam cara yang dilakukan. Dengan kondisi yang demikian ini netralitas dan kemerdekaan hakim dalam menyelesaikan perkara dipertanyakan keobjektifannyab .
              Disamping itu, ketidakindependensian kekuasaan kehakiman pada saat undang-undang No. 10 tahun 1970 ini diberlakukan juga ditunjukkan oleh adanya fakta bahwa meskipun MA mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri, tetapi badan-badan peradilan yang berada di bawah MA secara organisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. Dalam konteks inilah kekuasaan kehakiman dikategorikan secara normatif independen akan tetapi realitanya tidak independen. Oleh karenanya muncul pendapat umum yang mengatakan ada tiga fator utama penghalang kekuasaan kehakiman sebagai pelaksana kebenaran dan keadilan, salahsatunya adalah adanya keikutsertaan pemerintah dalam urusan adminitrasi peradilan sehingga hakim merasa selalu dalam bidikan yang akan mempengaruhi masa depan mereka . 
              Secara umum jika dilihat pada jangka waktu tahun 1970-1998, ketidakmandirian lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman disebabkan oleh beberapa faktor; struktur organisasi yang meletakkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang tidak otonom karena berada dibawah sebuah departemen yang nota bene berada di bawah pemerintah,  integritas hakim moral hakim dan kebebasan untuk menjalankan profesinya,  peraturan hukum yang membatasi kreatifitas hakim, karena hakim hanya menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan,  administrasi peradilan yang berbelit dan tidak terdokumentasi dengan baik,  kekuasaan yang berusaha mengkooptasi tugas dan fungsi lembaga peradilan,  politik yang mempengaruhi hukum. Hukum dipandang sebagai produk politik sehingga karakter produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh konfigurasi politik yang melahirkannya dan Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah .
              Kondisi yang demikian ini memunculkan dorongan dari berbagai kalangan untuk melakukan perubahan demi mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri sebagai amanat dari UUD 1945. Usaha untuk mewujudkan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dimulai dengan ditetapkannya TAP MPR No. X/MPR 1998 tentang Ketetapan Kekuasaan Kehakiman Yang Bebas dan Terpisah dari Eksekutif dan melakukan perubahan terhadap ketentuan UU. No.10 tahun 1970 dengan dikeluarkannya UU. No. 35 tahun 1999 yang diubah dengan UU. No. 4 tahun 2004 dan terakhir diganti dengan UU. No. 48 tahun 2009.
              Berdasarkan pada UU. No. 48 tahun 2009 diletakkan sebuah kebijakan baru dalam rangka untuk mewujudkan independensi dan kemandirian yudisial dengan ketentuan segala urusan mengenai peradilan baik menyakut bidang teknik yudisiil maupun bidang non teknik yudisial seperti organisasi, administasi dan finansiil berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 UU. No. 48 tahun 2009: (1)  Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. (2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.


BAB III
KESIMPULAN

A.   Kesimpulan

              Untuk mengakhiri makalah ini. Berdasarkan pada urain makalah diatas  dapat kita simpulkan bahwa :
a.            Hakim sangat diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia guna terwujudnya keadilan, tanpa hukum manusia akan liar, dan tugas pokok hakim adalah memeriksa mengadili memutus dan menyelesaikan masalh atau perkara – perkara yang diajukan oleh masyrakat para pencari keadilan.
b.           Kekuasaan kehakiman untuk menumbuhkan kemandirian para penyelenhara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kehakiman peradilan yang berkualitas dengan meningkatkan integritas, ilmu pengetahuaan dan pengalaman.
c.            Kemandirian kekuasaaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim karena kalau tidak maka manipulasi dan mafi peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehinga para hakim yang menyalah gunakan jabatanya menjadi sulit disentuh hukum.
d.           Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinanya yang seadil – adilnya serta memberi manfaat bagi masyrakat sehinga dapat berfungsi sebagai pengerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.

B.   Saran
              Bahwa apa yang terkandung dalam penulisan makalah ini bukan pemikiran penulis semata, tetapi penulis ambil dari berbagai macam referensi. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk meningkatkan isi daripada makalah ini kearah yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

A.Mukit, Arto,”Mencari Keadilan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, Jakarta,2002
Friedman, Lawrence M., “Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial”, Musa Media, Bandung, 2009
Mocthar, Kusumatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Fak. Hukum Universitas Pajajaran, Bina Cipta, Bandung, 1986
Munir, Fuady, “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum”, Citra Abady Bakti, Bandung, 2003
Rahardjo, Satjipto. “Sosiologi Hukum”, Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2004
Sarwata, Kenijaksanaan Strategi Penegakan Sistem Peradilan Di Indonesia, Lemhanas, 19 Agustus 1997
Shidarta,”Karakteristik Penalaran Hokum Dalam Konteks Ke Indonesiaan”, Universitas Katolik Parayangan, 2004
Soerjono Soekamto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1990