A. PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai bukan hanya kebahagiaan di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah,muamalah, dll.Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an dan Terjemahnya”Al Qur’anul Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.
Firman Allah SWT dalam surah al Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan mansukh yaitu:
Terjemahan,
Ayat mana saja yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya…. (Qs Al Baqarah:106)
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu.
Sungguh, ayat–ayat al-Qur’an merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu, sering kali pada saat al-Qur’an berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi, orang yang tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui dimana ujung pangkalnya.Demikian menurut M.Quraish Shihab dalam buku beliau “Wawasan al-Qur’an”.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh di atas, maka dalam bab selanjutnya penulis bermaksud membahas tentang pengertian nasikh mansukh, ruang lingkup dan syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh, bentuk-bentuk nasakh, pendapat ulama tentang nasakh, serta beberapa contoh nasikh mansukh.
B. NASIKH DAN MANSUKH
1. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: menghilangkan, melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan(memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain). Kata nasakh dapat juga berarti mengganti atau menukar, membatalkan dan mengubah, dapat juga berarti pengalihan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh.
Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna’ Khalil al Qattan sebagaimana termaktub dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an nasakh ialah “mengangkat(menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain”. Menurut Muhammad ‘Abd Azhim al Zarqaniy sebagaimana dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, bahwa nasakh adalah mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.
Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Shihab menandaskan bahwa para ulama mutaqaddimin(ulama abad I hingga III H) memperluas arti nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d. Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip oleh Quraish Shihab diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang diangkat atau yang dihapuskan”. Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus.
2. RUANG LINGKUP DAN SYARAT-SYARAT NASAKH
Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok(usul) semua syari’at adalah sama. Firman Allah dalam QS Asy Syuura ayat 13 yang terjemahnya :”Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”(QS Asy Syuura ayat 13). Nasakh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab(tuntutan:perintah atau larangan), seperti janji(al wa’d) dan ancaman(al wa’id) demikian menurut Syaikh Manna’
Adapun syarat-syarat nasakh adalah :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh
c. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.
3. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an dan tafsirnya.
a. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh ahad dengan ahad.(3) ahad dengan mutawatir.(4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.
b. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
Terjemahan:
Maka hadapkanlahwajahmu ke arah Masjidil Haram.
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(Al Baqarah/2:185).
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
c. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.[26] Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an memang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
d. Nasakh Al Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
Ø Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
Ø Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4. Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Terjemahan
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya.
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an. Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur’an dengan sunnah, karena Al Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
4. BENTUK-BENTUK NASAKH
Para ulama yang mengakui tentang adanya nasakh mengemukakan ada tiga bentuk nasakh, yaitu:
Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, nasakh hukum dan tilawah, nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.
a 1. Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah Al Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian dinasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah ayat 234(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul pertanyaan. Apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu (1) Al Qur’an di samping dibaca untuk diketahui makna dan diamalkan hukumnya, juga Al Qur’an sebagai Kalamullah yang membacanya mendapat pahala.(2) Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan, sehingga dengan tetapnya tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus.
b 2. Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat AlQur’an. Bentuk ini menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al Qur’an, karena ayat-ayat Al Qur’an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau, bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau berkurang. Nasakh hukum dan tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat, dan Injil yang telah dinasakh Al Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al Qur’an seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia berkata:
”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinasakh oleh lima susuan yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al Qur’an yang baca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca”, pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah dinasakh(dihapuskan) tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
c 3. Nasakh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al Qur’an, tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang disebut”Syar’un man qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum syari’at itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh tilawah tetapi hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam Al Qur’an, yaitu tentang hukum rajam, ayat yang telah dinasakh dan kini tidak terdapat dalam Al Qur’an, yaitu;
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya dirajam kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
5. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASAKH
a 1. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut; (1)perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.(2)Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain Firman Allah dalam Surah An Nahl ayat 101 :
Terjemahan
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain
Juga dalam Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :106.
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan dalam bukunya Wawasan baru ilmu tafsir, bahwa memang terdapat nasakh sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh. Menurut Abdul Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa para pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;(a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan. (b) Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh. Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh adalah Al Suyuthi dan Imam Syafi’I.
b 2. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah; (1) sekiranya dalam Al Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan(QS.41:42). (2)Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih lanjut. Kosakata”ayat” tidak hanya berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an(Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam-macam. Maka lafal |¡YtR dalam ayat 106 Surah Al Baqarah dapat diartikan “kami menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al Qur’an dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia.(3)Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.(4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.(5)Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara lain. Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat dalam bukunya Tekstualitas Al Qur’an; kritik terhadap ulumul Qur’an, bahwa fenomena nasakh yang keberadaannya diakui oleh ulama menimbulkan problema yaitu bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya bahwa teks mengalami perubahan melalui nasakh, dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di Lauh Mahfuzh?
6. BEBERAPA CONTOH NASIKH MANSUKH
Al Suyuti menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan mansukh sebagaimana disebutkan dalam Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an(Studi ilmu-ilmu Qur’an. Juga terdapat dalam Al Qur’an dan Tafsirnya, Yaitu:
Ø Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :115.
Terjemahan
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Ø Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :144.
Terjemahan:
Maka hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram
Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Ø Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :18
Terjemahnya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak apabila menjemput seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dari karib kerabat
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat 11-12 dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi “ sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Ø Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :184.
Terjemahan
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah”
Ayat ini dinasakh oleh:
Ø Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :185
Terjemahan
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa…..”
Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya”.
Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidak mansukh. Bukhari meriwayatkan dari ‘Ata’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa.Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka makna yatikuwnahu bukanlah yastatiyuwnahu (sanggup menjalankanya). Tetapi maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri”.
Ø Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُُ حَكِيمُُ – البقرة : 240 -
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)
Ø Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * – البقرة : 234 –
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)
C. PENUTUP
Ø Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
Ø Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Ø Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para ulama sepakat hal tersebut tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
Jogyakarta: LKis Pelangi Aksara, cet 4 2005
Jogyakarta: LKis Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, diterj. Mudzakir,
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet 14, 2011.
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet 14, 2011.
————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni,
Jakarta: Pustaka al Kautsar, cet 4, 2009\
Jakarta: Pustaka al Kautsar, cet 4, 2009\
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, cet I, 2005
pelajar, cet I, 2005
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
————-, Al Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta:Proyek pengadaan kitab suci
Al Qur’an, 1985
Al Qur’an, 1985
Shihab, M Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994
————, Wawasan al-Qur’anBandung; PT: Mizan Pustaka, 2007
Tim Penyusun, Al Qur’an dan Terjemahnya; Tafsir Al Qur’anul Karim,
Medinah Munawwarah: Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain al
Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H
Medinah Munawwarah: Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain al
Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H
Usman, M.Ag,Dr, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:Teras, cet I, 2009